Selasa, 08 Desember 2015

Politik Firqoh dalam Sejarah Islam



Ada orang beragama “karena menerima agamanya” sebab warisan keluarga & tradisi. Ada orang beragama ‘yang menganut agamanya’ karena pergulatan intelektual & penjelajahan, dan ada yang karena keduanya.

Saya beragama karena warisan keluarga & tradisi, tapi kemudian ‘menetapkan’ keyakinan saya berdasarkan pergulatan intelektual & pembacaan yang mandiri dan memilih berdasarkan kajian rasional dan tradisi warisan. Dan salah-satu yang membuka pikiran saya adalah sejarah. Salah-satu contohnya masalah Syi’ah & Sunni.

Ikhtiar pembacaan dan pergulatan intelektual tersebut akan menciptakan mental orang dewasa dan bersikap ilmiah. Di sini, saya ingin bercerita tentang masalah hadits dan politik firqoh, contohnya.

Pada masa khalifah Al-Mutawakkil sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu. Tatkala Al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas.

Sementara itu, setelah peristiwa mihnah terjadi, mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal, dan karenanya Al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Asy’ariyah (Sunni).

Pada saat itulah teologi Asy’ariyah (Sunni) mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Pertanyaannya adalah: “Kenapa Syi’ah menerima sebagian hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (yang notabene tidak sesuai dengan keyakinan mereka) dan menolak sebagian lainnya?” Dalam hal demikian, secara umum, meski pahit harus dikatakan bahwa pemikiran kelompok Asy’ariyah (Sunni) menekankan pada ketaatan (kompromi) terhadap khalifah yang sedang berkuasa.

Dalam proses pembentukannya, ideologi-teologis Asy’ariyah (Sunni) ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya, telah terjadi polemik intelektual antara As-Syafi’i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.

Dalam hal ini, diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahlus Sunnah Wal Jamaah tersebut, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah Al-Qadiriyyah.

Singkat kata, Istilah ini (Ahl al Sunnah wa al Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran teologis Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M) dan Al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang dianut negara pada masa Al-Ma’mun.

Sayangnya (untuk tidak dikatakan sebagai terjadinya kontaminasi-politis yang buruk), pada masa khalifah Al-Mutawakkil negara berakidah Ahlul Hadits. Paham ini didukung negara sehingga hadits-hadits Sunni kemudian menjadi mudah diintervensi dengan penambahan-penambahan yang dilakukan ulama-ulama pelayan keinginan selera penguasa kerajaan. Yang menjadi ironi adalah bahwa Ahlul Hadits hanya memakai hadits tanpa rasio (tanpa hujjah ‘aqliyyah), padahal hadits-hadits yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW.

Tapi apa mau dikata, karena fanatisme mazhab, orang-orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadits agar mazhab-nya tetap tegak. Top of Form


Tidak ada komentar:

Posting Komentar