Jumat, 11 Desember 2015

Yang Sakral & Yang Profan*



Oleh Sulaiman Djaya (1999), untuk tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah

Dalam The Sacred and the Profane (1967), Mircea Eliade menjelaskan bahwa seorang sejarahwan harus keluar dari lanskap peradaban modern-nya ketika mereka hendak mencari penjelasan suatu kelompok kecil manusia dan ketika mereka hendak “memasuki” suatu lanskap manusia arkhaik (purba).

Sementara itu, terkait dengan studi agama secara umum, Eliade menyatakan bahwa suatu fenomena agama hanya akan dianggap demikian jika ia “dipegang” menurut tingkatannya sendiri.

Dalam hal ini, sesungguhnya, suatu ikhtiar untuk menangkap esensi dari fenomena agama dengan sejumlah instrumen, semisal fisiologis, psikologis, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau bahkan seni, acapkali malah jatuh dalam reduksi dan kekerasan perspektif itu sendiri.

Dengan pandangannya itu, Eliade tentu saja bertolak-belakang dengan Emile Durkheim (sosiolog yang menulis pandangan dan penelitian agamanya dalam The Elementary Forms of Religious Life), contohnya, terkait mana yang sakral dan mana yang profan.

Bagi Durkheim, yang sakral adalah yang sosial, yang memiliki arti bagi klan atau suatu komunitas masyarakat (purba), sedangkan yang profan adalah yang sebaliknya, yaitu yang hanya memiliki arti bagi individu.

Lebih lanjut Durkheim pun memandang bahwa simbol dan ritual yang sakral tampak berbicara tentang yang supernatural, namun baginya itu hanya penampakan luar. Tujuan simbol, demikian menurut Durkheim, adalah sekadar untuk membuat sadar orang akan “tugas sosial” mereka, misalnya dengan menyimbolkan klan sebagai dewa atau totem mereka.

Sebaliknya, menurut Eliade, perhatian pada studi agama adalah dengan yang supernatural –yang jelas dan yang sederhana, yang berpusat pada yang sakral (di dalam dan pada diri yang sakral itu sendiri), dan bukan tentang yang sakral yang hanya sebagai cara untuk menggambarkan atau pun merepresentasikan yang sosial.

Maka teranglah bagi kita, pandangan Eliade lebih dekat kepada Taylor, Rudolf Otto, dan Frazer, yang etnologis dan antropologis, yang menggambarkan agama pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan kepada wilayah dari yang supernatural, dan bertabrakan dengan pandangan Durkheim yang sosiologis yang mereduksi agama hanya sebagai fungsi sosial semata.

*Tulisan ini merupakan ringkasan dari paper yang lebih panjang. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar