Selasa, 03 November 2015

Teringat Sonia Marmeladov



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2002)

Rumah mungil beratap seng itu terasa gerah sekali ketika kami akhirnya berbincang, meski saat itu hujan baru saja reda. Bahkan, di hari ketika aku mendatangi lingkungan kumuh itu, gelap langit mendung masih terus meneteskan butiran-butiran air, dan angin dari sudut-sudut gang becek sesekali mengirimkan bau tak sedap.

Di hari itu, meski jam di tanganku menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit, cuaca bulan Desember telah merubah senja menjadi malam yang datang lebih awal. Orang-orang pun menyalakan bohlam-bohlam dan neon-neon lampu listrik mereka.

Kedatanganku ke lingkungan yang telah akrab dengan aroma anyir dan asam itu karena memang ditugaskan oleh sebuah lembaga survey di Jakarta untuk melakukan wawancara lapangan. Di senja yang terus menitik dan menjelma malam lebih awal itu, aku melakukan wawancara dengan seorang bapak, yang menurut pengakuannya sendiri, telah berusia empat puluh tahun lebih, dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ketika wawancara dimulai, aku bersandar pada pintu agar dapat merasakan hembusan angin dari luar dan tak terlalu merasa gerah, meski harus menghirup aroma-aroma tak sedap yang dikirim angin yang melintas.

Di sebuah sudut tikungan yang tak terlalu jauh dari tempat kami berbincang, beberapa orang tampak asik bergoyang dangdut di depan sebuah warung kopi. “Mereka adalah orang-orang kampung sini, teman-teman saya juga sesama kuli bangunan dan para pekerja dadakan,” kata si bapak yang kuwawancara sambil sedikit tertawa tanda keramahan ketika aku menengok ke arah orang-orang yang tengah asik berjoget dangdut yang suaranya sampai juga ke tempat kami.

Itulah kali pertama aku benar-benar merasa kagum, akrab, juga heran dengan orang-orang yang hidup di sebuah tempat yang terbiasa dengan bau anyir dan aroma-aroma tak sedap seusai hujan. Si bapak yang kuwawancarai itu memiliki seorang anak gadis belia berusia belasan tahun, yang kebetulan duduk di samping bapaknya ketika kami berbincang seputar kehidupan sehari-hari mereka. Sebutlah gadis belia itu bernama Santi, seorang gadis belia yang masih bersekolah di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari lingkungan kumuh itu, yang seperti dikatakan bapaknya, kadang-kadang membantu ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci.

Saat mendengar si bapak tentang anak gadis satu-satunya itu, aku jadi teringat tokoh Sonia Marmeladov dalam novel Crime and Punishment-nya Fyodor Dostoyevksy itu. Meski tentu saja perihal keseharian Santi dan Sonia tidak sama. Namun, setidak-tidaknya, dunia Santi dan Sonia-nya Dostoyevsky itu menggambarkan situasi yang sama.

Meski pekerjaan mewawancara orang-orang di sejumlah tempat telah beberapa kali kulakukan sebelum-sebelumnya, rasa-rasanya di tempat itulah aku merasa yang paling cukup melelahkan. Mungkin karena harus berjuang dengan cuaca yang telah bercampur dengan bangkai-bangkai sampah dan gang-gang becek yang bila tak kutahan-tahan, niscaya aku telah beberapa kali muntah. Rasa pening pun menyerang kepalaku saat aku berjalan menyusuri gang-gang yang dirundung gerimis itu. Rasa jenuh dan lelah itu pun harus ditambah dengan lalulintas Koja yang padat, sementara kali-nya yang berwarna hitam itu tak kalah asamnya menyebarkan bau tak sedap seperti lingkungan kumuh di mana aku melakukan wawancara itu.

Kutinggalkan rumah sederhana beratap seng yang hanya memiliki tiga ruangan itu meski langit masih saja meneteskan butiran-butiran air yang membuat kepalaku merasa berat, juga dingin angin yang membuat tubuhku terus menggigil di saat aku terus melangkah dengan sepasang sepatu yang terasa lembab dan basah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar