Selasa, 27 Oktober 2015

Apa Puisi Itu?



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2007)

Untuk mendefinisikan apa itu puisi, saya mengalami kesulitan dan tak bisa mendefinisikannya, dan itu berbeda dengan kritikus dan analis sastra dan pakar bahasa. Meskipun demikian, saya memiliki pemahaman sendiri tentang apa itu puisi, walau tentu saja akan bersifat subjektif dan sepihak. Dan, sekedar mengutip, saya ingin mengawali esai singkat ini dengan apa yang ditulis Hiedegger tentang Puisi, Pemikiran, dan Dunia:

“To think is to confine yourself to a single thought // that one day stands still like a star in the world’s sky” (Martin Heidegger: Poetry, Language and Thought).

Saya percaya puisi lahir dari keintiman seseorang dengan dunia dan keseharian. Dan sampai saat ini, jika pendapat saya tidak berubah, saya mempercayai puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup menciptakan realitas dalam puisi, yang dengan itu pula pencitraan dan kiasan menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih jauh, pencitraan dan kiasan tersebut sanggup menciptakan fantasi dan transendensi demi menggambarkan sebuah dunia-realitas yang unik dan memang hanya milik puisi itu sendiri.

Karena itulah saya menuliskan saja apa yang tiba-tiba muncul dalam hati saya ketika saya berjumpa atau pun mengalami moment keintiman dengan apa yang saya dekati dengan pancaindra dan bathin saya. Lagi-lagi, saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Heidegger ketika ia berpendapat bahwa puisi bisa dipahami sebagai puncak pemikiran, akan tetapi pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak semata hanya kemampuan dan kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita sebut rasio.

Pemikiran yang dimaksudkannya adalah keterlibatan dan keintiman seluruh pancaindera kita termasuk hati.

Heidegger memang berbicara tentang ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya sebagai Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan saya pada eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh cinta yang dalam bahasa Inggris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love” alias Jatuh dalam Cinta atawa “berada dalam cinta”, yang bila kita kembali dalam pengertian Heidegger, puisi bisa juga dimengerti sebagai cara berada manusia dalam dunia.

Dengan keintiman itulah, seni dan puisi sanggup memungkinkan “Sang Ada” berbicara dengan terang dan jernih. Ambillah kasus lukisan sepatu petani-nya Van Gogh, yang dengan lukisan itu kita tak hanya memahami dan memandang sepatu sebagai semata-mata benda mati, tetapi lebih dari itu, kita mengalami arti sepatu yang unik dan kontekstual, papar Heidegger, di mana seni melibatkan perhatian bagi benda-benda dalam konteks dan arti historis mereka.

Sepatu dalam lukisan Van Gogh yang dimaksudkan adalah sejumlah cerita seorang petani, sepatu yang telah mengalami banyak kehidupan atau sejumlah peristiwa keseharian, pengalaman keprihatinan atau pun kemiskinan si pemiliknya, kehidupan dan keseharian si petani yang hendak diceritakan dan digambarkan Van Gogh dengan lukisannya itu.

Juga di sini, kita bisa menyebutkan lukisan Van Gogh lainnya, yaitu the Potato Eaters yang suram dan amat bersahaja itu.

Demikianlah, puisi yang saya pahami mestilah mengandung sekaligus hendak menceritakan realitas keintiman tersebut. Jika pun kita memandang penting retorika dan stilistika sebagai upaya pencapaian bahasa, tentulah dimengerti dalam kerangka modus ujaran dan penyampaiannya.

Pelukis lain yang saya pandang berhasil menampilkan keintiman yang saya maksudkan itu adalah juga Giovanni Segantini, ketika saya mempelajari sebuah lukisan miliknya yang menggambarkan seorang ibu yang tengah mendekap anaknya di sebuah pohon yang tak lagi memiliki daun. Seakan-akan Segantini hendak bercerita tentang kepedihan dan keprihatinan yang sama seperti yang ditampilkan oleh lukisan-lukisannya Van Gogh.

Saya kira, dalam konteks ini, penyair dapat pula belajar dari pelukis ketika hendak menyampaikan dunia yang ingin diceritakan atau pun digambarkan puisinya, seperti juga ia dapat belajar dari komponis untuk tekhnik bahasa dan nada-nada demi memungkinkan puisi yang ditulisnya terasa merayu dan indah.

Untuk saya sendiri, pelajaran pertama tentang keintiman memanglah alam, lalu kemudian membaca karya-karya puisi para penyair sufi yang menurut saya adalah para maestro simbolis, yang telah mengajarkan kepada saya tentang bahasa sederhana yang padat sekaligus kental secara musikal, memiuh dan kaya makna.

Selanjutnya, saya mengasah kepekaan bathin saya dengan berusaha mempelajari dan memahami lukisan-lukisannya para pelukis naturalis dan impresionis yang bagi saya pandai menggambarkan suasana dan perasaan sejauh menyangkut dunia dan keseharian yang mereka jelmakan sebagai sejumlah tubuh, subjek, dan tentu saja keseharian. Singkatnya, selain tentu saja kitab suci, ada tiga khasanah yang berjasa dalam pembelajaran saya untuk menulis: sufisme, musik, dan lukisan.

Dan, suatu ketika, saya jatuh cinta, hanya saja hal itu tak lebih suatu pengalaman puitis, suatu pengalaman yang kemudian mengajarkan saya belajar menulis puisi:

Aku tahu bagaimana rasanya
jatuh cinta. Dan bagaimana ia mengkhianatiku
dengan selembut keindahan

yang membingungkan.
Aku tahu seseorang harus belajar merasa kecewa
sebelum ia menulis lagu

dan sajak cinta.
Di saat-saat kubosan dan ingin tidur
aku cuma berharap masih bisa

mengenang bagaimana derai rambutmu
seakan malam yang dilanda gundah
pada kertas-kertas yang berserakan.

Angin yang terus mendesir pelan
membuatku kembali teringat burung-burung liar
yang berlesatan bersama setiap kata

yang kau ucapkan. Sejak saat itulah
aku memahami keindahan yang kukenal
seumpama sepasukan penjahat

yang riang bermain-main dengan kesedihan
seorang lelaki. Sejak saat itu,
aku ingin terus terbaring saja


dan bermimpi di lelap sajak. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar