Minggu, 06 Maret 2016

Indonesia dalam Percaturan Politik Global

Foto: Indonesia di Tengah Pangkalan Militer Amerika (Tanda Merah Bulat)

Tulisan singkat ini akan memberikan gambaran sekilas tentang kondisi Indonesia di masa-masa perjuangan kemerdekaan yang tidak terlepas dari konteks percaturan politik dunia, utamanya Amerika yang memiliki ambisi untuk menjadi adidaya sejak lama, yang salah-satunya mereka susun dalam sejumlah planning dan rancangan, semisal Truman Doctrine dan Marshall Plan.

Dalam hal ini, lahirnya Truman Doctrine semula dimaksudkan untuk menghadang penyebaran komunisme di seluruh dunia –yang tentu saja dalam rangka membendung dan menghalangi pengaruh Uni Soviet yang merupakan rival Amerika, di mana rancangan Amerika dalam rangka upayanya untuk memerangi komunisme tersebut dikeluarkan pada 1947.

Amerika pun menyusun Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun pengaruhnya di Eropa setelah Perang Dunia II. Indonesia (yang dulu bernama “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan tersebut. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia.

Belanda pun melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta kala itu. Tentu saja, Indonesia menjadi menggiurkan Amerika yang memiliki ambisi tetap menjadi Negara adidaya karena Indonesia merupakan asset dan kekayaan yang berlimpah.

Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir Amerika Serikat dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS” (Lihat Gouda and Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008).

Bahkan Amerika Serikat diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogyakarta pada 18 Desember 1948 (Lihat Dorling and Lee; Australia and Indonesia’s Independence vol.2: The Renville Agreement: 1996).

Selain karena kekayaan dan potensi alam dan material sejenisnya, keinginan penguasaan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II juga disebabkan letaknya yang sangat strategis. Tak heran, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting bagi Amerika Serikat.

George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), bahkan pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948, “Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia” (Lihat  Gouda & Zaalberg; p.35).

KELAHIRAN NATO
Sementara itu, dalam rangka membangun pengaruhnya di Eropa dan guna membendung pengaruh komunisme Uni Soviet (Negara yang saat ini telah berubah menjadi Federasi Rusia) di sana, Amerika mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949.

Perlu diketahui, tanggal 1 Oktober 1949 Republik Rakyat China yang berideologi komunis (yang berarti sama dengan ideologi Uni Soviet kala itu) di bawah Mao Tse Tung berdiri dan Perang Korea (1950) memaksa tentara Amerika Serikat yang di bawah panji Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berhadapan langsung melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara.

Hal itu menjadikan Amerika Serikat merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), yang seperti kita tahu SEATO yang berusaha menyaingi Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok itu kemudian dilawan oleh Bung Karno, yang karenanya Bung Karno pun pernah berusaha dibunuh oleh CIA.

Dengan demikian, kian jelas, NATO dimaksudkan sebagai politik pembendungan terhadap Uni Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik pembendungan terhadap RRC (Lihat Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005).

Di akhir tahun 1950, RRC dan Uni Soviet menjalin hubungan yang erat. Ini kian mencemaskan Amerika Serikat yang bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar bebas yang besar bagi dirinya, dan juga penguasaan atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia. Sebagaimana saat ini, dibawah kepemimpinan Xi Jinping dan Vladimir Putin, Rusia dan China acapkali melakukan kerjasama.

Karena itulah kala itu, Menlu Amerika Serikat Dean Acheson di penghujung 1950 merumuskan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat untuk Asia Pasific. Amerika Serikat pun menjalin perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut.

Pada 8 September 1951, misalnya, Amerika Serikat pun mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan; Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and United States) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan pada 2 Desember 1954 (Lihat Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi Papers 132; 1977).

AMERIKA TIDAK BISA DIPERCAYA
Mungkin kita perlu merenungkan sejenak sejarah kita, suka atau tidak suka, yang ketika Soekarno memandang Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat (Lihat Soebadio: p.42).

Sebab itu, Indonesia dibawah kepemimpinan Bung Karno menentang usaha Amerika menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin kerjasama dengan Soviet dalam kedudukan yang setara.

Apalagi ketika Soekarno tahu bahwa Amerika terbukti membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Di sini lah, kita juga sebenarnya tak perlu banyak bertanya lagi, kenapa Amerika bernafsu untuk menumbangkan Soekarno dengan segala macam cara manipulasi, seperti mempengaruhi para jenderal di Angkatan Darat dan intelektual anti-Soekarno, semisal para intelektual PSI.

Kita juga tidak boleh lupa, pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh.

Saat itu, atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan Amerika Serikat guna membentuk Pax-Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana Amerika menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menggusur Soekarno dan menyingkirkannya.

SOEMITRO DJOJOHADIKUSUMO DAN SOEDJATMOKO
Sejak akhir 1940-an, Amerika Serikat sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. Amerika akhirnya mengetahui jika keduanya tidak menyukai Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Sumitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.”

Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, contohnya, Sumitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Lihat Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

Tak hanya itu saja, David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis: “Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro Amerika Serikat.

Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan Amerika Serikat untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia paska Perang Dunia II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, ujar Robert Delson, anggota Liga yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah penasehat hukum untuk Indonesia di AS.”

Orang ini, tulis David Ransom, selalu menemani dan membawa Sumitro dan Koko keliling Amerika dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) yang juga Soska dan berpengaruh dalam sikap polittik luar negeri Amerika.

USAI KONNFERENSI MEJA BUNDAR
Usai KMB 1949, Sumitro pun pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sikap Sumitro dan kawan-kawan PSI-nya yang mendukung investasi Belanda di Indonesia merdeka tidak populer di mata rakyat yang nasionalismenya tengah bergelora.

Hasilnya, pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat suara yang kecil. Namun, seperti kita ketahui, intelektual-intelektual PSI tetap setia menjadi mitra Amerika, termasuk menjadi para pembisik dan penasehat Amerika dalam upaya penggulingan Bung Karno. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar