Sabtu, 05 Maret 2016

Dari Cecil Rhodes Hingga John Perkins



“Dunia sudah hampir seluruhnya terkotak-kotak, dan yang tersisa sudah terbagi-bagi, dikuasai, dan diduduki. Membuatku berpikir mengenai bintang-bintang yang kulihat di langit malam, dunia-dunia luas yang tak terjamah. Aku akan mencaplok planet-planet itu kalau bisa, aku seringkali berpikir mengenainya. Hatiku sedih melihat mereka, tapi begitu jauh tak terjangkau” (Cecil Rhodes, Last Will and Testament 1902).

Setelah menerbitkan buku “Confessions of an Economic Hitman” (2004), John Perkins mendapat banyak kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat, dan mereka kebanyakan meminta agar Perkins melanjutkan bukunya dengan berbagai keterangan yang jauh lebih jujur dan berani. Salah satunya—seperti yang ditulis John Perkins dalam pengantar “Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia & Negara Dunia Ketiga” (2007)—meminta dirinya agar memaparkan arti kata “Imperium” dengan sederhana, agar banyak orang terbuka kesadarannya.

Atas permintaan tersebut, John Perkins pun menulis bahwa Imperium adalah negara-bangsa (atau bisa juga korporatokrasi dan oligarkhi kaum korporat) yang mendominasi negara-bangsa lainnya dan menunjukkan satu atau lebih ciri-ciri berikut: (1) Mengeksploitasi sumber daya dari negara yang didominasi, (2) Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, (3) Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal, (4) Menyebarkan bahasa, sastra, seni, dan berbagai aspek budayanya ke seluruh tempat yang berada di bawah pengaruhnya, (5) Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain, dan (6) Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

John Perkins melanjutkan, “Semua ciri imperium global itu ada pada Amerika.” Dengan kata lain, Amerika adalah Imperium Global di masa sekarang, sebagaimana kata ONE dalam One Dollar itu sendiri dapat diplesetkan sebagai Ordo Novus Empirium alias Ordo Imperialisme Baru. Sebagai mantan tim perusak ekonomi, yang diistilahkannya sendiri sebagai “The Economic Hit Men”, John Perkins memang berani mengungkapkan kesaksiannya, meski dengan resiko ia dipecat dari pekerjaannya, jika dewasa ini negara-negara dunia ketiga, alias negara terkebelakang, merupakan jajahan Imperium Amerika, termasuk Indonesia.

Dalam hal ini, jika penguasanya disebut “Empire” atau “Emperor”, maka sistem yang berlaku adalah Imperialisme. Di sini, menurut definisi Wikipedia, sebagai tambahan, Imperialisme ialah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh, imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah yang mereka taklukkan.

Sedangkan perkataan Imperialisme itu sendiri muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad XIX. Disraeli, Perdana Menteri Inggris, menciptakan politik ekspansif yang bernafsu meluaskan pengaruh kerajaan Inggris hingga ke seluruh dunia. Namun Disraeli mendapat tentangan. Golongan oposisi ini takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan beragai krisis internasional. Kaum oposisi ini disebut golongan “Little England” dan golongan Disraeli (bersama Joseph Chamberlain dan Cecil Rhodes) disebut golongan “Empire” atau golongan “Imperialisme”. Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membeda-bedakan golongan Disraeli dari golongan oposisinya, namun dalam perkembangannya istilah ini meluas hingga seperti yang dikenal sekarang ini.

IMPERARE SEBAGAI MUASAL ISTILAH
Penting diketahui, istilah imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) ini disebut “imperium”. Sedangkan orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium.

Nah, pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya atau cakupan wilayah yang berada dalam pengaruh dan perintah politik dan kebijakan ekonominya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja yang seperti inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal saat ini.

Dulu, tindakan untuk menguasai suatu wilayah kerajaan selalu menggunakan senjata api atau peperangan. Namun sekarang tidak selalu. Sekarang, penguasaan bisa dilakukan dengan kekuatan ekonomi, kultur, pendidikan, dan ideologi. Dan tentu saja, perang sebagai alat terakhir seperti yang menimpa Irak dan Suriah saat ini, ketika Amerika, Ingris, Israel, Rezim Saud, Turki, Perancis dkk menggunakan ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak Suriah untuk membuat kekacauan dan konflik di kawasan tersebut.

DAVID RANSOM DAN MAFIA BERKELEY
Sementara itu, di tahun 70-an, muncul tulisan “Berkeley Mafia and Indonesian Massacre”, di mana yang dimaksud pembunuhan massal ini adalah pembantaian ratusan ribuan (bahkan konon jutaan) anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mereka (penduduk sipil) yang dicurigai merupakan simpatisan PKI. Dalam tulisan tersebut juga ada beberapa hal yang diungkapkan oleh David Ransom, yang antara lain “Kronologi penggulingan Soekarno”, yang tidak lain adalah campur tangan Amerika melalui jaringan-jaringan terselubungnya (covert action CIA).

Ini berawal saat munculnya pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950, pengakuan tersebut ternyata mensyaratkan Indonesia untuk menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Alhasil, sejak tahun 1950 bangsa Indonesia mewarisi utang Hindia Belanda sebesar US$ 4 Milliar. Dan dengan adanya hutang tersebut, pemerintahan Soekarno tidak bisa lepas dari tekanan pihak pemberi hutang (baca Amerika).

Tekanan tersebut antara lain adalah adanya intervensi saat periode 1950-1956. Yakni saat adanya tekanan dari Amerika Serikat bahwa Indonesia harus mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam. Klimaksnya adalah saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia tahun 1964. Di mana ketika itu Malaysia didukung oleh Inggris. Pemerintahan Soekarno yang saat itu geram, lantas menasionalisasi seluruh perusahaan Inggris di Indonesia. Hal tersebut adalah kali kedua pemerintahan Soekarno melakukan nasionalisasi setelah menasionalisasikan perusahaan milik Belanda tahun 1956.

Rupanya, Amerika turut campur dengan masalah tersebut. Pemerintahan Amerika menuntut bahwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia harus segera diakhiri. Hal tersebut yang lantas menyulut kemarahan Soekarno hingga mengatakan “go to hell with your aid”. Penolakan keras tersebutlah yang membuatnya harus menyerahkan tangkup kepemimpinan Negara pada Soeharto, tepat pada tanggal 11 Maret 1966. Kebijakan politik Amerika dengan misi anti-komunisnya ini telah menjerat bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain untuk masuk ke dalam strategi globalnya (liberalisasi dan kapitalisasi yang menguntungkan Amerika).

Langkah-langkah yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika Serikat (CIA) telah menyusupi hampir semua badan, lembaga, kekuatan sosial-politik, dan oknum-oknum penting untuk kemudian diperalat oleh Amerika.

Yayasan-yayasan yang menyediakan dana-dana bantuan pendidikan semacam Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, yang disamping sering memberi bantuan-bantuan perlengkapan, tenaga-tenaga ahli, juga membiayai pengiriman mahasiswa-mahasiswa di luar negeri adalah merupakan alat, pangkalan (sarang) dan kedok CIA untuk melancarkan operasi-operasinya ke berbagai penjuru dunia. Perguruan-perguruan tinggi semacam Berkeley, Cornell, MIT (Massachusetts Institute of Technology), Havard dan lain-lain telah dijadikan sarang dan dapur CIA untuk mencekokkan ilmu-ilmu liberal (ideologi Amerika) dan meng-amerika-kan para mahasiswa yang datang dari berbagai negeri, serta menggemblengnya menjadi agen dan kaki tangan Amerika (CIA) yang setia.

Kita tahu, dalam liberalisme, yang telah lebih dulu memiliki modal kuat lah yang menguasai arena pasar politik dan ekonomi global melalui korporasi dan MNC-MNC mereka yang mengeruk kekayaan negara lain, contohnya Indonesia.

Bahwa banyak badan-badan pendidikan dan perikemanusiaan sekedar dijadikan kedok semata-mata untuk kepentingan Amerika. Tulisan itu juga menjelaskan mengapa Soekarno mesti digulingkan dan nasionalisme yang dibawanya mesti dihancurkan. Juga, bagaimana kaum Sosialis Kanan/PSI telah berpuluh tahun mengadakan persekongkolan dengan CIA untuk merebut kekuasaan di Indonesia ini dari tangan Soekarno. Bagaimana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta telah dijadikan dapur dan sarang komplotan PSI-CIA dan untuk dari sana pula-lah melancarkan gerilya politik dan subversinya kemana-mana.

Bagaimana bantuan-bantuan ahli dari Amerika seperti Guy Parker, George Kahin, John Howard, Harris, Glassburner, dan kaum Sosialis Kanan/PSI seperti Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Emil Salim, Subroto, Barli Halim, dan Soedjatmoko yang populer sebagai kaum teknokrat-ekonom dan berhasil menduduki posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan puncak itu, telah lama “mengadakan permainan bersama yang lihai” bersama dengan kepentingan Amerika.

Singkatnya, tulisan David Ransom itu memberi informasi tentang bagaimana CIA ikut meng-create (menciptakan) Rezim Orde Baru Soeharto demi menggusur Soekarno yang menurut Amerika berbahaya bagi kepentingan (imperialis) Amerika. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar