Jumat, 05 Februari 2016

Mengenal Secara Singkat Mu’tazilah



Jika saya diminta memilih diantara dua pilihan saja, yaitu antara Mu’tazilah atau Jabariah, maka tentu saya akan lebih memilih Mu’tazilah. Dalam sejarah Islam, kaum Mu’tazilah merupakan ‘kaum rasionalis’, sedangkan kaum Jabariah adalah ‘kaum fatalis’. Tetapi apa dan bagaimana Mu’tazilah itu? Tulisan ini hanya akan ‘memaparkan’ secara singkat saja untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Dalam telaah yang ditulisnya, Ahmad Amin menyatakan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil ibn Atha dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi (manzilat bayna manzilatayn) yang dinyatakan Washil bin Atha tentang muslim yang melakukan dosa besar.

Ahmad Amin menyebut mereka (kaum Mu’tazilah) ini adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai di dalam buku-buku sejarah.

Al-Thabari, contohnya, menyebut bahwa sewaktu Qais ibn Sa’ad di Mesir sebagai Gubernur dari Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “Mu’tazilin”. Dalam hal ini, jika Al-Thabari menyebut mereka “Mu’tazilin”, Abu Al-Fida menyebut mereka “Al-Mu’tazilah”.

Sementara itu, menurut Al-Qadi Abdul Jabbar, di dalam teologi terdapat kata i’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Sedangkan menurut, Ibn Al-Murtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi oleh orang-orang Mu’tazilah itu sendiri.

Secara historis, Mu’tazilah muncul sebagai aliran pertama yang bersistem cukup lengkap dalam sejarah teologi Islam, dimana dalam perjalanannya ia terbagi menjadi dua cabang besar dengan perhatian yang berbeda. Cabang Basrah dengan tokoh utama Abu Huzail bin Al-Allaf lebih banyak menaruh banyak perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sedangkan cabang Bagdad dengan tokoh utama Bisyr bin Al-Mu’tamir lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan yang dekat dengan kekuasaan Khalifah Abassiah.

Cabang Bagdad ini – dibandingkan dengan cabang Basrah – lebih banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani Kuno. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana, dalam hal ini Mu’tazilah dipandang sebagai aliran pertama dalam Islam yang menggunakan argumen filosofis dalam menginterpretasikan masalah-masalah ke-Tuhanan.

Sementara itu secara politis, Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiah sangat besar jasanya dalam mendorong perkembangan aliran Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, sebagai contohnya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani Kuno dan sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori.

Secara praktis, Al-Ma’mun memakai prinsip-prinsip aliran Mu’tazilah dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa orang banyak memakai prinsip-prinsip itu.

Demikianlah, sebagaimana dicatat sejarah Islam, pada masa-masa akhir pemerinntahannya ia melaksanakan mihnah, yakni pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa Al-Quran itu diciptakan, sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Yang tidak percaya bahwa Al-Quran diciptakan, alias jika percaya akan keqadimannya, maka sang hakim akan dipecat. Tak lain karena orang-orang Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada yang kadim selain Allah. Menurut mereka, kepercayaan kepada adanya yang kadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menempati kedudukan hakim mestilah bebas dari syirik dan kalau ternyata ada hakim yang tidak bebas dari syirik, mestilah ia diturunkan dari kedudukan itu.

Mihnah yang berasal dari kepercayaan agama pada waktu itu muncul ke permukaan politik dan pada akhirnya dikenakan tidak hanya atas para hakim, namun juga atas para saksi di pengadilan dan kemudian atas para pemimpin masyarakat.

Kebijaksanan politik Al-Ma’mun ini dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M) dan bahkan lebih keras lagi oleh Al-Wasiq ( 227-232 H/842-847 M). Peran Ahmad bin Abi Daud, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah aliran Bagdad, dalam pelaksanaan mihnah ini sangat besar. Ia adalah kawan dekat Al-Ma’mun dan kemudian memegang jabatan Qadi Al-Qudah alias Hakim Agung, menggantikan Yahya bin Aksam pada tahun 217, yang mana Yahya bin Aksam ini pernah kalah debat dengan Imam Muhammad Al-Jawad as yang debatnya kala itu atas inisiatif Khalifah Al-Ma’mun.

Jabatan Qadi Al-Qudah yang dipegang Ahmad bin Abi Daud ini tetap dipegangnya pada masa Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq. Hanya saja, bersamaan dengan meninggalnya Al-Wasiq, bersamaan itu pula menandai kejatuhan Mu’tazilah. Sejak itu – untuk beberapa lama – Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan sejarah.

Mu’tazilah bangkit lagi di kemudian hari dengan berkuasanya Bani Buwaih pada abad keempat Hijriah di wilayah Persia. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang, walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka di masa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca sampai sekarang.

Selama ini kita mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan-lawan mereka, terutama kaum As’ariyah yang pasti akan menyudutkan Mu’tazilah. Sedikit sekali karya pemikir Mu’tazilah yang tersisa karena kebanyakan karya mereka hilang dibasmi oleh lawan-lawan mereka. Barangkali, hanya Syi’ah Islam-lah yang ‘dapat menghargai’ kajian-kajian dan khazanah-khazanah rasional kaum Mu’tazilah ini, yang paling tidak, turut serta dalam mendidik masyarakat untuk tidak berkubang dalam fatalisme. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar