Senin, 20 April 2015

Pintu Sajak



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2012)

Tafakkur Februari

Bersama lembab,
barisan pohon di jalan
dan angin yang berkejaran
adalah perumpamaan

baris-baris munajat
yang dirundung sunyi dan diam.

Senja membuka kerah bajunya,
membentangkan ranum
tafakkur perindu
ihwal anugerah-Mu.

Barangkali hujan
yang telah jauh melangkah
tetap para tamuku
yang senantiasa intim

sekaligus terasa asing.
Betapa runcing
dingin yang sangsi
saat dua mataku ingin pergi

ke tanah yang lain.
Seakan maut pun jatuh

dalamku terlelap
kala duduk atau dalam kantuk.
Dalamku bermuwajahah
dengan bisu semesta-Mu.


Pintu Sajak

Setiapkali aku datang,
kutanggalkan sepatu di depanmu,
lalu tanganku menjabatmu:
akrab sekaligus asing,
seakan aku memang seorang tamu
di hadapan apa saja
yang tak terusik oleh tajamnya
tatapan sang maut.

Di suatu waktu, kausambut aku
dengan penuh kecup,
namun kau usir aku tanpa ragu
di kali lain. Sejak itu aku paham,
atas restu atau murkamu
nasib dan puisi dengan ikhlas
senantiasa hilir-mudik.

Tetapi aku tak mengerti,
kenapa hujan dan gerimis
serasa berada jauh di musim yang lari.
Bahkan waktu dengan ubannya yang kemerahan
lebih mirip kalimat-kalimat sajak
yang berserakan.

Setiapkali aku pergi,
kau selalu melepas bajuku
hingga aku tak ubahnya si petualang telanjang
yang senantiasa rindu pulang.
Kembali berjabat tangan
dan meminta maaf kepada mereka
yang menangis sendirian.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar