Rabu, 13 Mei 2015

Bilakah Dunia Kelak Akan Hancur Sendiri?


Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015) 

Tulisan ini, bagaimana pun, lebih merupakan "curahan" dari kegelisahan meditaif penulisnya, sehingga tanpa bermaksud menghadirkan suatu akurasi, tak lain karena memang hanya spekulasi diaris semata, tak lebih sebuah tulisan yang mencoba bertanya kepada diri sendiri.

Dan tentu saja, tulisan diaris singkat ini saya tulis setelah saya membaca beberapa tulisan seputar sains, utamanya fisika teoritis, dari sejumlah ilmuwan dan penulis, semisal Carl Sagan, Lawrence M. Krauss dan lain-lain. Dan saya sangat tertarik pada isu tentang “kemungkinan” yang masih bersifat teka-teki dan belum terjawab ihwal “penciptaan” semesta dan kemungkinan kehancurannya –yang lazim dikenal secara populer dan komikal sebagai the end of the world alias akhir dunia itu.

Soal dan materi bahasan tentang “akhir dunia”, entah yang sifatnya teologis, filosofis, atau pun yang coba dijawab secara sains, memang dapat dikatakan masih “misteri”, meski orang-orang beragama (dari rumpun monotheis) tak mempertanyakan (atau mempersoalkan) masalah ini. Bahkan, telah banyak film yang mengangkat soal ini, entah yang sifatnya “skeptic” atau yang dekat ke soal-soal teologis, dan karena yang paling sering menggarapnya adalah Hollywood, tak ragu lagi film-film yang mencoba mengangkat masalah ini acapkali mendapatkan inspirasi dan materinya dari “teologi Kristiani”.

Tak terkecuali saya, yang saya yakin banyak orang juga demikian, kadangkala merenungkan masalah ini –semisal mencoba membandingkan antara khazanah sekuler yang saya baca dengan khazanah keagamaan (Islam) yang saya baca dan yang diajarkan para ustadz. Meski demikian, esai singkat ini, katakanlah, tak ubahnya sebuah diari yang hanya sekedar mencoba mencurahkan apa yang ada di dalam benak menjadi sebuah catatan kecil.

Ribuan tahun sebelum masehi, bangsa Sumeria-Babilonia dan Mesir memiliki ilmu astronominya sendiri untuk mamahami alam semesta atau jagat-raya –sedangkan bangsa Yunani mengandalkan logika, dan salah-seorang dari filsuf Yunani yang pernah berkunjung ke Mesir, yaitu Pythagoras, mengikuti jejak-jejak bangsa Timur tersebut, yaitu menggunakan geometri dan matematika ketika berusaha menjelaskan alam semesta atau jagat-raya.

Capaian yang dapat dikatakan sebagai babakan revolusioner dalam sejarah sains adalah ketika Galileo Galilei menemukan alias menciptakan teleskop, meskipun kita tahu tidak secanggih teleskop di jaman ini. Namun setidak-tidaknya alat tersebut tentu saja sangat penting dalam kerja sains di abad-abad selanjutnya –yang tak lain sebagai instrument observasi langsung alias pengamatan empiris.

Di abad-abad selanjutnya, wabil-khusus di abad-20, Albert Einstein menyatakan teori tentang kekekalan energi, energi kuantum, dan partikel sub-atom, yang tak diragukan lagi, menjadi dasar bagi perkembangan astronomi, yang tak lagi berkutat pada penelitian semesta di sekitaran gugusan tata-surya (matahari dan planet-planet yang mengitarinya) semata, tapi mencoba mengetahui ke arah yang lebih jauh.

Kita tahu, sejak penemuan Efek Doppler dalam gelombang cahaya dari berbagai benda angkasa, sejak itulah diketahui bahwa alam semesta alias jagat-raya berkembang (meluas) dan bahwa nebula di dalamnya bergerak saling menjauhi dengan kecepatan yang menakjubkan –dan makin jauh jarak mereka, makin tinggi pula kecepatannya.

Penemuan-penemuan itu pun menimbulkan atau memunculkan sejumlah pertanyaan atawa kuriositas baru di kalangan ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya. Misalnya, apakah alam semesta atau jagat-raya tak memiliki batas? Dan jika alam semesta atau jagat-raya terus meluas alias berkembang, apakah akan meluas begitu saja tanpa henti atau tanpa akhir? Dan bila saja ada awal kapan alam semesta mulai berkembang?

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, George Gamov dan kawan-kawan berpandangan bahwa alam semesta atau jagat-raya mulai berkembang atau meluas kira-kira dua milyar tahun lalu, yaitu ketika masih dalam keadaan aslinya, dan meskipun jagat-raya itu sendiri sudah teramat sangat luas yang tak bisa diukur oleh kita.

Dalam hal ini, ada pernyataan yang cukup enigmatik dan menggoda, yang dilontarkan seorang matematikawan bernama Herman Minkowski (sebagaimana dikutip Lawrence M Krauss dalam Fisika Star Trek-nya): “Suatu saat ruang-waktu akan semakin pudar menjadi bayangan belaka, dan hanya ada semacam ikatan antara keduanya yang bisa memelihara realitas yang independen”.

Pernyataan Herman Minkowski, sang matematikawan itu, dilontarkan di tahun 1908 –di mana di tahun itu pula Albert Einstein menemukan Relativitas Ruang-Waktu, suatu temuan yang murni mengandalkan imajinasi, bukan observasi. Dan saya pun pernah bertanya (meski hanya di dalam hati): mungkinkah alam semesta atau jagat-raya di suatu saat, entah kapan itu, akan kelelahan dan menghancurkan dirinya sendiri? Ataukah yang hancur itu hanya bumi semata?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar