Rabu, 03 Juni 2015

Kisah Siswi Karina Ke-18




Hak cipta ©Sulaiman Djaya

“Aku mengerti apa yang ingin kau sampaikan, Hudan!” Demikian ujar Misyaila kepada si burung Hudan yang menjalankan perintah tuan-tuannya itu. “Tapi percayalah, untuk saat ini Ilias akan sanggup melakukan tugasnya dengan baik tanpa bantuanku. Aku akan membantu sahabat-sahabatku di saat mereka memang sungguh-sungguh membutuhkan bantuanku.” Lanjut Misyaila. “Sekarang pulanglah, agar engkau dapat kembali datang padaku dan agar kelak dapat memberikan kabar kembali di saat-saat genting.”

Dengan isyarat menganggukkan kepalanya dan menggerakkan sepasang sayapnya, si burung Hudan itu pun mematuhi perintah Misyaila, dan langsung melesat terbang meninggalkan Misyaila dari tempatnya. Ia kembali melanglang-buana sebagaimana ia datang ke negeri Nun yang sunyi itu, menuju negeri Farsa di mana Hagar dan Sophia berada.

Sementara di negeri Telaga Kahana nun jauh jaraknya dari negeri Nun yang misterius di mana Misyaila berada itu, Siswi Karina mulai akrab dengan Dardan, seekor kuda putih pemilik satu tanduk mirip Unicorn yang dulu merupakan sahabatnya Pangeran Ramada dan sahabat suaminya Zipora, setelah Zipora memperkenalkannya kepada Siswi Karina beberapa hari sebelumnya.

Siswi Karina mulai mahir menunggangi Dardan yang perkasa dan ajaib itu, dan begitupun sebaliknya, Dardan mulai memahami setiap keinginan dan perasaan Siswi Karina dengan kekuatan intuisi dan telepati yang dimilikinya.

Sedangkan di negeri Najdor, negeri yang merupakan tempat dan markas pasukan Siis, Rakab tampak kecewa dengan berita kekalahan garnisun pertama pasukan Siis-nya ketika hendak menaklukkan kota Ramad itu. Ia tampak marah dan tak puas setelah mendengar laporan beberapa pasukan yang selamat dan kembali ke negeri Najdor tersebut, terlebih kekalahan itu telah membuat gugur sejumlah prajurit terbaik dan pilihan yang telah dilatihnya sendiri. Rakab bingung bagaimana menjelaskan kekalahan garnisun pertamanya itu kepada Mayar Rother, Jarjus Bushan, Ziva Kamarin, Vidad Kamarun, dan Pangeran Wilad Nibtalal.

Setelah berpikir dan merenungkan pilihan apa yang harus dilakukannya, ia memutuskan untuk mengirimkan garnisun berikutnya dengan jumlah yang lebih besar dan dengan persenjataan yang lebih canggih. Namun kali ini sasarannya bukan lagi kota Ramad, tapi ke kota Daraa. Ia pun mengirimkan sepucuk surat yang ditujukan langsung kepada Mayar Rother agar dikirimkan persenjataan canggih dan sejumlah biaya ke negeri Najdor dalam rangka melakukan serangan yang kali ini lebih besar dan lebih keras, dan karena itu ia membutuhkan banyak orang yang hendak ia rekrut sebagai para prajurit Siis, di mana biaya yang ia minta itu dalam rangka membayar mereka yang mau menjadi pasukan Siis.

Setelah surat yang dikirim oleh Rakab ke Mayar Rother itu diterima oleh Mayar Rother di negeri Amarik, Mayar Rother pun segera menyanggupi permintaan Rakab tersebut, dan keesokan harinya kiriman senjata untuk pasukan Siis pun serempak datang dari negeri Amarik, negeri Asrail, negeri Najdan, dan negeri Angland dengan jenis-jenis senjata dan perlengkapan yang telah dibagi-bagi oleh masing-masing para penyumbang senjata bagi pasukan Siis berikutnya pimpinan Rakab tersebut.

Rakab pun tampak puas dan tak menyangka bahwa bantuan yang datang justru jauh lebih banyak dan lebih besar dari yang ia bayangkan dan yang ia harapkan. Ia pun segera menjamu para utusan negeri-negeri yang menjadi tuan-tuannya itu dengan jamuan yang mewah di markas pribadinya di sebuah lembah dekat pegunungan Rasdan yang sebenarnya tak seberapa jauh dari negeri Lubnan, salah-satu negeri yang merupakan sekutunya bangsa Farsa, negeri Suryan, negeri Yumnan, dan tentu saja negeri Telaga Kahana.

Dengan bantuan yang jauh lebih besar dan lebih banyak yang datang itu, Rakab pun tampak puas dan timbul dalam dirinya rasa percaya diri, setelah sebelumnya ia terserang perasaan pesimis setelah kekalahan garnisun pertama yang dikirimnya ke negeri Suryan itu.

Setelah para utusan sejumlah negeri yang membayar dirinya itu pulang dan kembali ke negeri masing-masing, Rakab pun memanggil sejumlah pemimpin pasukannnya untuk mematangkan strategi dan rencana serangan berikutnya dengan skala yang jauh lebih besar dibanding garnisun pertama yang dikirimnya, yang telah mengalami kekalahan yang memalukan itu.

Tapi, jauh dari negeri Najdor yang menjadi markasnya itu, Ilias dan para jenderal di kota Damas di negeri Suryan pun tengah melakukan apa yang ia lakukan bersama para pemimpin perangnya itu, di mana di kota Damas itu turut hadir pula Jenderal Reham yang terkenal jenius, berkepala dingin, dan senantiasa memiliki perhitungan yang matang dan tepat dalam berperang dan bertempur di medan peperangan dan pertempuran, di mana kejeniusan Jenderal Rahem ini setara dengan kecerdasan Ilias setelah dididik oleh Jenderal Rushtam. (Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar