Rabu, 24 Juni 2015

Sains dan Alam





Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2014)

Manusia mencipta pesawat terbang ketika mereka belajar dan berguru dari alam, dari para burung alias para unggas. Berusaha menemukan apa saja, faktor apa, dan bagaimana supaya pesawat yang akan atau ingin mereka ciptakan bisa terbang sebagaimana para burung atau para unggas terbang? Bahkan bisa lincah bergerak dan bermanuver seperti halnya para burung dan para unggas bergerak, berpindah posisi, dan bermanuver dengan bebas dan lincah di udara.

Mula-mula manusia membuat sayap tiruan alias melakukan imitasi sederhana dari alam –dengan “mesin” sederhana, seperti yang dilakukan Ibnu Firnas dan kemudian Leonardo Da Vinci. Itulah mula industri penerbangan atau aviation industry dalam skalanya yang masih sederhana –yang kini telah mampu menciptakan pesawat-pesawat antariksa dan jet-jet tempur super-cepat.

Ketika merenungi atau belajar dan berguru dari dan kepada alam itulah, manusia jadi tahu ada matematika, geometri, hukum gerak, formasi dan lain sebagainya di alam atau semesta. Dan ikhtiar merenungi dan upaya untuk mengetahui “hukum” dan “rumus” alam itu sudah dilakukan para filsuf kuno dan manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi, semisal oleh manusia-manusia yang kemudian menciptakan peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Assiria, Median, dan Persia.

Temuan dan hasil penelitian sejumlah arkeolog, geolog, ahli purbakala, dan para sarjana lainnya bahkan telah menunjukkan bahwa manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi itu sudah sangat cerdas (barangkali malah lebih cerdas dari kita saat ini), utamanya dalam ilmu perbintangan, konstruksi, dan arsitektur. Para ilmuwan dan sarjana itu, misalnya, terkagum-kagum tentang bagaimana Persepolis di Persia, Borobudur di Indonesia, dan Piramida di Mesir dibangun dengan skala raksasa atau skala megastructure.

Hanya saja, dalam konteks tulisan ini, kita barangkali akan bertanya: Kenapa mesti unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa yang bisa kita dapatkan dengan merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini, kita memang harus membuang ego antroposentrik kita yang terlampau memandang manusia sebagai pusat semesta, atau apa yang kita sebut “virus Cartesian” itu, dan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang sama-sama ada. Yah, salah-satu pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik adalah sifat simpati, kerjasama, dan solidaritas mereka dalam hidup. Para unggas, pada dasarnya, adalah juga makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang mungkin akan mengejutkan, pelajaran tentang formasi militer di udara.

Tak seperti elang yang cenderung menyendiri, unggas hidup berkawan. Mandi bersama, tidur bersama, dan mencari makan bersama. Bila dilihat secara sosiologis, mereka lebih mencirikan diri sebagai masyarakat kolektif, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu. Apapun istilah yang ingin dilekatkan oleh para ilmuwan atau para pengamat, yah silahkan saja, “yang penting kami selalu bersama”. Kira-kira begitulah sikap politik mereka.

Ini adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita tidak pernah menyadari keberadaannya karena semua berlalu secara alami. Padahal unggas mengajarkan kita banyak hal tentang arti tata-tertib, kekompakan, dan pertemanan: “politik solidaritas”. Di musim dingin, mereka bermigrasi ke Selatan, dan di musim panas mereka kembali ke kediaman asalnya di Utara. Lalu lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat terbang bermigrasi itu. Mereka membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan, karena para fisikawan mencatat bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan lebih rendah, dalam formasi seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri. Ini jauh lebih bermanfaat bagi mereka guna memacu kecepatan.

Selanjutnya, bila ada anggota yang sakit, atau sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari formasi, maka akan ada unggas yang lain yang datang mengapit untuk tetap terbang dalam formasi huruf V kecil yang baru. Dukungan sosial ini begitu penting, dalam menjaga kekompakan dan keberlangsungan hidup, agar yang lemah bisa tetap terbang dan tidak terjatuh sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama, hingga sampai di tujuan juga bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka. Terbang sendirian bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal efektivitas kecepatan dan kepakan sayap. Inilah solidaritas yang secara politis dalam rangka “menjaga kekuatan tanpa harus menyingkirkan yang lemah”.

Kemudian, dan ini yang terpenting, setiap unggas saling bergantian mengambil alih komando. Bila si A kelelahan, maka si B dengan spontan menggantikannya. Tidak ada ketamakan untuk terus menjadi komandan. Juga tidak ada keinginan untuk mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang juga baik. Beginilah harusnya kerja sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan. Di sini, saya teringat motto kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi kuat, “Laa quwwata illa bil jama’ah, wa laa jama’ah illa bil imamah.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar