Jumat, 17 April 2015

Gerak dan Waktu dalam Filsafat Mulla Sadra (Bagian Pertama)


Gerakan Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan Tentang Waktu, Serta Prinsipalitas Eksistensi

Oleh  M.T. Misbah Yazdi (Imam Khomeini Education and Research Institute, Iran)

Tulisan ini ingin menyinggung tentang dua isu penting dalam filsafat Sadrian. Bahasan pertama ingin menjelaskan tentang sifat-sifat gerak di dalam substansi dalam hubungannya dengan waktu. Semua wujud korporeal mempunyai dimensi keempat yang dipersepsi oleh indra secara tidak langsung, sebagai tambahan terhadap tiga dimensi indrawi yang nisbatnya adalah volume. Eksistensi dimensi keempat ini dapat ditunjukkan secara rasional. Itulah dimensi waktu.

Tulisan ini akan menjelaskan hubungan antara waktu dan gerak di dalam doktrin Wujud Mulla Sadra. Selanjutnya, dalam bahasan kedua akan dipaparkan teori gerakan substansial dengan mengkaji prinsipalitas Wujud di dalam kontingen dan wujud korporeal.

Sebelum memasuki isu utama dalam tulisan ini, pertama-tama kita akan membahas konsep gerak terlebih dahulu. Gerak biasanya didefenisikan sebagai ‘pergeseran suatu objek dari satu titik ke titik yang lain’.[1] Juga bisa dianggap sebagai suatu gerak jika konstituen suatu objek, dan bukan objek itu sendiri, berubah kedudukannya seperti perputaran pada suatu kincir angin. [2]

Namun, di dalam istilah filsafat, gerak mempunyai pengertian yang lebih luas: pada sebuah apel, perubahan warna dari hijau menjadi kuning yang berubah lagi menjadi merah juga disebut sebagai gerak yaitu ‘gerak kualitatif’ (harakah kayfiyyah), demikian juga pertumbuhan sebuah pohon dari kecil menjadi pohon yang besar disebut gerak kuantitatif (harakah kamiyyah).

Dengan dasar ini, gerak kemudian dapat dikategorikan menjadi empat jenis: gerak spasial (harakah intiqaliyyah), perputaran (harakah wad’iyyah), gerak kuantitatif (harakah kamiyyah), dan gerak kualitatif (harakah kayfiyyah).[3]

Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa di dalam istilah filsafat, tidak semua perubahan dapat disebut gerak. Pergeseran atau perubahan keadaan suatu objek dapat disebut sebagai gerak jika dua syarat gerak terpenuhi. Kedua syarat itu adalah: Pertama, perubahan itu tidak boleh ‘tiba-tiba’ (daf’i) tetapi harus gradual (tadriji), juga bahwa perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walaupun hanya sesaat saja. Kedua, perubahan itu harus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi secara tak terbatas, bukan kumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi (seperti dalam pahaman atomisme).[4]

Juga harus ditambahkan bahwa seperti pada setiap garis, dan bukan bagian-bagian garis yang mempunyai ujung dan pangkal, ekstensi setiap gerak tidak boleh mempunyai bagian-bagian aktual apapun yang menunjukkan titik atau kumpulan titik tertentu.[5] Jika tidak, keadaan pada point 4 di atas tidak akan menghasilkan suatu gerak.

Dengan kata lain, sebuah gerak sama dengan sebuah garis dan bukan kumpulan bagian-bagian garis yang dibatasi oleh titik-titik (pada garis tersebut).

Sekarang, setelah memahami beberapa defenisi di atas, marilah kita mendiskusikan topik utama dalam tulisan ini.

Catatan Singkat Sejarah Teori Gerak Substansial

Filosof-filosof awal yang mempercayai adanya wujud gerak (berbeda dengan mazhab Eleatik ) yang menolaknya, membatasi defenisi gerak hanya dalam empat kategori aksidental yang telah kita sebutkan sebelumnya, dan menganggap bahwa gerak pada kategori lainnya, khususnya gerak di dalam substansi, adalah tidak mungkin.[6]

Argumen mereka tentang ketidakmungkinan adanya gerak di dalam substansi adalah bahwa mereka mempercayai gerak sebagai keadaan yang dinisbatkan kepada sebuah subjek dengan substansi yang konstan. Jika substansi subjek tersebut mengalami fluks atau perubahan, kita tidak punya lagi subjek yang kepadanya gerak tersebut dapat dinisbatkan. Dengan kata lain mereka percaya bahwa, hipotesis gerak substansial adalah hipotesis tentang ‘sebuah gerak tanpa objek yang bergerak’ atau ‘sebuah karakteristik tanpa sebuah objek yang dikarakteristikkan.’[7]

Pendapat ini kemudian diterima oleh filosof-filosof Muslim baik dari mazhab peripatetik maupun mazhab iluminasi. Selama beberapa abad, pendapat ini menjadi rujukan tanpa pernah dipermasalahkan sampai akhirnya muncul Mulla Sadra (W. 1641) dengan doktrinnya yang original dan sangat terkenal tentang gerak substansial (harakah jawhariyyah).[8]

Sadra membantah argumen para pendahulunya dan memperlihatkan kelemahan-kelemahan mereka. Di dalam studi ringkas ini, pertama-tama kita akan menjelaskan salah satu argumen Mulla Sadra tentang gerak substansial, yakni argumen yang juga menjelaskan tentang kebenaran waktu, dan selanjutnya kita akan melakukan kritik terhadap pendapat yang menolak adanya gerak substansial tersebut.

Bukti Tentang Adanya Gerak Substansial Sebagai tambahan terhadap tiga dimensi objek-objek indrawi yang disebut sebagai volume, semua wujud korporeal mempunyai dimensi keempat yang dipersepsi oleh indra secara tidak langsung, tetapi wujud dimensi keempat ini ditunjukkan melalui suatu argumen bahwa dimensi keempat itu adalah dimensi waktu wujud-wujud korporeal tersebut. Sebagai contoh, sebuah tanaman tumbuh dalam beberapa hari tertentu, mulai dari mekarnya biji dan munculnya bunga-bunga, kemudian suatu saat nanti tanaman tersebut akan musnah dan mati dalam beberapa hari, demikianlah seterusnya ia akan mengikuti suatu siklus dan akan hidup lagi sampai ratusan hari.

Periode ini adalah suatu ekstensi wujud tanaman yang tidak dapat dibagi yang menjadi dimensi keempat. Artinya, waktu dalam hal ini adalah ekstensi (atau bagian dari wujud) itu sendiri. Dengan menilai hubungan ekstensi ini dengan objek yang lain, kita akan dapat menentukan rentang waktu yang tertentu untuk objek tersebut, sebagaimana halnya kita dapat mengetahui tempat suatu objek dari penilaian serta penentuan volume dan ukuran objek tersebut.

Perbedaan utama antara ekstensi waktu dan ekstensi ukuran adalah bahwa pada ekstensi waktu, bagian-bagian waktu yang potensial akan mewujud satu demi satu secara berurutan. Untuk perwujudan salah satu bagiannya, bagian yang lain harus berakhir terlebih dahulu. (Kita harus memahami bahwa ekstensi-ekstensi itu memiliki bagian-bagian potensial, sebab tidak ada ekstensi yang memiliki wujud actual.[9]

Oleh karena itu, waktu adalah suatu dimensi dan karakteristik wujud korporeal. Berbeda dengan pengertian umum yang kita pahami, waktu bukanlah entitas bebas yang mengandung objek-objek. Ketika kita mengatakan bahwa waktu adalah salah satu dimensi wujud korporeal, maksudnya adalah bahwa eksistensi wujud korporeal tersebut memiliki ekstensi yang bisa dilalui dengan pembagian tanpa batas. Setiap konstituen wujud tersebut berada di lintasan, mengalir, kemudian habis.

Sistem itu adalah suatu transisi, pemusnahan konstituen partikular, yang selanjutnya membuat konstituen baru. Dengan kata lain, setiap wujud korporeal mempunyai durasi tertentu yang selalu mengalami perubahan yang terus-menerus (fluks). Caranya adalah, semua konstituen potensial wujud korporeal tersebut secara gradual mewujud dan kemudian musnah lagi. Inilah yang di dalam istilah filsafat disebut ‘gerak substansial.’[10]

Di dalam banyak kasus, gerak substansial ini terjadi bersama-sama dengan proses evolusi objek yang bergerak, seperti halnya setitik sperma yang berevolusi menjadi seekor binatang atau seorang manusia secara utuh.[11] Namun jelas salah jika ekstrapolasi (perhitungan) durasi dan realisasi gradual ini juga dinisbatkan kepada wujud-wujud yang dapat dipisahkan (separable beings) serta Wujud Mutlak Allah Yang Maha Suci.

Memang, beberapa filosof bahkan telah melakukan generalisasi ini dengan mengatakan bahwa Allah Yang Maha Kuasa juga mengalami evolusi.[12] Tetapi, generalisasi ini hanyalah hasil dari suatu reproduksi pikiran imajinatif – seperti ketika kita berfikir secara salah bahwa semua wujud menempati suatu ruang tertentu – yakni pikiran yang tidak dapat diterima oleh akal dan pembuktian logis. Setiap wujud yang dapat dipisahkan tidak mempunyai dimensi temporal seperti halnya ia juga tidak memiliki dimensi lokal.

Allah adalah wujud yang meliputi seluruh ruang (omnipresent) dan karenanya Allah memiliki pengaruh yang sama terhadap segala sesuatu di segala tempat di setiap waktu. Mensifatkan suatu defisiensi atau berfikir tentang transformasi, evolusi, atau degenerasi yang dinisbatkan kepada Allah, hanyalah karena kecacatan pengetahuan dalam mengenal Esensi Allah Yang Maha Agung. [Bersambung ke Bagian Kedua]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar