Senin, 27 April 2015

Amsal Sajak Dua Gerimis




Hak Cipta (c)Sulaiman Djaya (2010-2013)

Gerimis Saatku Bangun

Saatku terbangun dengan nyala api di hatiku –gerimis telah meninggalkanku dalam sedih. Daun-daun tersenyum lembut –burung-burung membacakanku sebuah puisi. Mataku yang lembab kembali membara oleh gairah riang kanak-kanak. Aku tak ingat lagi apa yang dulu Kau titipkan –yang kini kugenggam. Aku tak ingat dengan apa Kau mencipta bara sepasang mataku –yang kadang membuatku tak dapat melihat mereka yang padam –bila hati-ku terlampau membara karena cinta. Kutahu setiap gerak adalah langkah dan tangan karena keriangan yang tak pernah lelah –kutahu Kaulah yang menyulut gairah siang-malamku.

(2010)


Ketika Gerimis Terus Berbisik

Dik, jika kaudengar gerimis berbisik, buatlah secangkir kopi
dan bayangkan aku membacakan baris-baris puisi untukmu
tentang apa saja. Tentang betapa sepi
sebenarnya hanya alegori
bagi sepasang bibirmu
yang mungil.

Sepasang matamu adalah kawah rimbun bagi rindu,
dan sebelum maut menjemput, tak ada salahnya
kita bayangkan sejenak engkau dan aku
seumpama Ariadne dan Theseus
saling menerka hari-hari kita
di lembar-lembar kertas.

Segala tentangmu adalah anugerah bagi kata-kata,
sungguh aku ingin selalu jatuh cinta pada rambutmu,
tanganmu, dan sepasang misteri di dadamu.
Engkau adalah perumpamaan senja
yang rindang, sebelum malam
direbut kegundahan.

Ketika sepi jadi teramat runcing, dan gerimis terus saja
berbisik, duh Adik, aku hanya membayangkan
kau membuatkanku secangkir kopi,
dan aku menulis sebuah kegembiraan
seorang lelaki yang jatuh cinta
sekali lagi.

(2013)


Amsal Sajak

Jika kau adalah bahasa purba
yang menyimpan malapetaka,
aku adalah hujan
yang tak beranjak.
Jika kau adalah bayang-bayang
dari pepohonan dan cuaca,
aku adalah sebuah umpama.

Jika kau adalah laut dan tanjung
yang diceraikan ombak
dan karang, aku adalah seekor camar
yang riang melambung
dan membentang
sehabis gerimis siang
di antara gugusan bakau dan pantai.

Jika kau adalah kesedihan dan do’a
perempuan jalang
di sebuah sudut metropolitan,
aku adalah selampu bohlam
yang jadi tungku bagi lembab.
Bagi sepasang matamu,
aku adalah sebentang ingatan.

Di sejumlah sajak,
kau dan aku menjadi tiada.

(2013) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar