Jumat, 17 April 2015

Gerak dan Waktu dalam Filsafat Mulla Sadra (Bagian Kedua)


Gerakan Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan Tentang Waktu, Serta Prinsipalitas Eksistensi

Oleh  M.T. Misbah Yazdi (Imam Khomeini Education and Research Institute, Iran)

Kritik Terhadap Mazhab Yang Menolak Adanya Gerak Substansial
Di bagian akhir tulisan ini, kita akan melihat kritik yang dilontarkan oleh orang-orang yang menolak adanya gerak substansial. Seperti yang telah kita sebutkan, inti dari argumen mereka adalah bahwa jika esensi dari suatu substansi – tanpa memperdulikan aksiden dan statusnya – memiliki gerak, maka esensi itu identik dengan gerak itu sendiri.[13] Sebuah gerak yang tidak mempunyai subjek yang jelas dari suatu objek yang bergerak adalah hal yang tidak mungkin (adalah hal yang tidak mungkin untuk menyebutkan adanya gerak tanpa suatu objek yang bergerak).[14] Untuk menjawab argumen ini, harus dikatakan bahwa aksiden dan karakteristik yang diatributkan pada suatu objek kadang-kadang adalah ‘aksiden luar’ (outward accident) yang mempunyai eksistensi yang berbeda dengan subjeknya; misalnya, menisbatkan ‘tertawa’dan ‘menangis’ terhadap seseorang di dalam dua kalimat: ‘orang itu bahagia’ dan ‘orang itu menangis’. Karakteristik dan aksiden ini mestinya memiliki subjek yang independen, yakni subjek yang mempunyai eksistensi yang berbeda denga aksiden tersebut.

Akan tetapi, kadang-kadang juga aksiden dan karakteristik yang diatributkan kepada suatu subjek bukanlah ‘aksiden luar’ tetapi ‘aksiden analitis’. Aksiden analitis ini tidak memiliki eksistensi yang independen terhadap subjeknya, hanya pikiran analitis kita yang membedakan antara subjek dan aksiden yang dinisbatkan padanya. Aksiden jenis ini termasuk gerak, tidak bergerak, diam, dan konstan.[15] Sebagai contoh, ketika kita mengatakan ‘objek itu statis’, maka eksistensi ketakbergerakannya adalah objek itu sendiri. Atau ketika kita mengatakan bahwa wujud yang dapat dipisahkan secara mutlak adalah stabil, itu berarti stabilitasnya tidak berbeda dengan eksistensi wujud tersebut. Juga, ketika kita mengatakan ‘esensi suatu objek memiliki gerak’, maka pada saat itu tidak ada artinya kita membedakan antara gerak dan esensi tersebut.

Eksistensi hakiki suatu esensi wujud korporeal sama dengan gerak dan aliran; dan berbeda dengan wujud yang dapat dipisahkan, eksistensinya tidaklah stabil. Lebih dari itu, ketika kita mengatakan ‘warna apel itu merah’, maka dalam hal ini merah tidak dapat dibedakan dengan warna itu sendiri meskipun dalam kalimat ini ‘warna’ adalah subjek dan ‘merah’ adalah atribut. Atau ketika kita mengatakan ‘warna apel itu berubah (bergerak) dari kuning ke merah’, maka gerak ini didefenisikan sebagai istilah perubahan dan metamorfosis di dalam ‘warna’ itu sendiri.

Oleh karena itu, seseorang tidak selalu dapat menemukan perbedaan antara setiap subjek dengan karakteristik yang diatributkan padanya. Justru, di dalam banyak kasus, seperti ketika kita mengatakan ‘wujud korporeal memiliki gerak’, kita hanya dapat menemukan perbedaan analitis antara subjek dan aksidennya.[16]

Prinsipalitas Wujud Di dalam Filsafat Mulla Sadra
Keberhasilan suatu argumen membutuhkan pengertian yang jelas tentang subjek kajian atau masalah yang sedang dibahas. Hal ini terkhusus di dalam masalah-masalah filosofis yang mencakup konsep-konsep yang sulit dan abstrak. Pertanyaan tentang perbedaan pokok antara eksistensi dan esensi sebagai masalah dasar dan independen pertama kali diajukan oleh Mulla Sadra. [17] Meskipun pertanyaan ini sudah mempunyai akar dan sudah pernah disinggung oleh para pendahulu Sadra, namun masalah ini adalah salah satu masalah filosofis yang sangat penting, yakni suatu pemahaman dan konsepsi yang memerlukan talenta khusus di dalam metafisika.

Di dalam pemahaman terhadap ‘prinsipalitas wujud’, terdapat beberapa konsekuensi terhadap masalah-masalah filosofis yang lain. Oleh karena itu, artikel singkat ini tidak dapat menjelaskan secara keseluruhan isu-isu yang berhubungan dengan prinsipalitas eksistensi tersebut. Kami telah menyinggung sebagian masalah prinsipalitas wujud ini di dalam buku Philosophical Instruction yang disusun khusus bagi pelajar pemula di bidang metafisika, juga masalah ini sudah dijelaskan di dalam buku Ta’liqah ‘ala Nihayat al-Hikmah yang ditulis oleh almarhum Allamah Thabathaba’i (semoga Allah merahmatinya).

Untuk itu, di dalam artikel ini hanya akan dijelaskan beberapa poin penting saja, sebagai pengantar bagi pemula dalam masalah prinsipalitas eksistensi ini.

[1] Ketika para filosof mengatributkan eksistensi dan esensi (wujud dan mahiyah) terhadap objek-objek luar, mereka tidak bermaksud membedakan dan memisahkan sifat-sifat realisasi luar eksistensi dan esensi tersebut. Mereka justru ingin menjelaskan bahwa analisis pikiran kitalah yang cenderung mendikotomikan dan membedakan antara keduanya. Sebagai contoh, ketika kita mendengar adanya wujud suatu unsur, misalnya uranium; meskipun kita telah memaksudkan satu objek, namun kita selalu cenderung menyatakan maksud kita itu dalam suatu pernyataan yang setidaknya terdiri dari dua konsep, yakni pernyataan ‘ada uranium’ atau ‘uranium ada.’

Disini, konsep ‘uranium’ menunjukkan esensi khusus dan konsep ‘uranium ada’ merupakan realisasi luarnya. Oleh karena itu, setiap realitas mempunyai dua sifat: sifat esensial dan sifat eksistensial. Dalam contoh ini, kita cenderung melihat bahwa kedua sifat itu berbeda, padahal dalam realisasi luarnya, kita tidak melihat adanya dua hal yang berbeda antara ‘uranium’ dan ‘wujud’ (dari uranium itu sendiri).[19]

[2] Sejak dari zaman dahulu, kita mengetahui adanya kaum skeptis yang menolak (keberadaan) alam semesta sebagai eksistensi luar suatu objek serta menolak kemungkinan pemahaman terhadap alam semesta itu. Yang paling ekstrim di antara mereka adalah Gorgias  yang mengatakan: ‘tak ada sesuatupun yang ada; kalaupun sesuatu itu ada, kitapun tak akan dapat mengenalinya.’[20] Pendapat seperti ini, Pertama, menolak adanya eksistensi luar suatu objek, atau setidaknya meragukan eksistensinya; dan yang Kedua, menolak pengetahuan atau meragukan pengenalan terhadap esensi dan realitasnya.

Oleh karena itu, dualitas diskusi ontologis dan epistemologis dapat menjurus kepada dualitas sifat-sifat esensial dan eksistensial. Hal ini menunjukkan kepada kita adanya pembedaan mental antara ‘esensi’ dan ‘eksistensi’.

[3] Menurut Filsafat Eksistensialisme, wujud mendahului esensi pada manusia sementara pada makhluk yang lain terjadi sebaliknya. Maksudnya, manusia mencapai esensi tertentu melalui kehendak dan pilihannya sendiri. Tetapi, pendapat ini tidak mempunyai arti dalam hubungannya dengan doktrin prinsipalitas eksistensi dalam filsafat Mulla Sadra.[21] Walaupun demikian, setidaknya menjadi jelas bahwa konsep ‘prinsipalitas’ harus dijelaskan lebih detail dalam diskusi ini. Oleh karena itu, terasa penting untuk menyebutkan akar permasalahan dalam mendiskusikan topik ini, serta faktor-faktor apa saja yang yang melatarbelakangi munculnya doktrin prinsipalitas eksistensi ini dalam Filsafat Mulla Sadra.

[4] Kita mengetahui bahwa sejak dahulu semua ciptaan dikategorisasikan berdasarkan perbedaannya yang mendasar dengan ciptaan lainnya. Semua makhluk yang memiliki sifat-sifat dasar yang umum, akan dikelompokkan ke dalam satu group meskipun makhluk-makhluk tersebut masih mempunyai perbedaan yang dianggap tidak penting. Beberapa filosof yang sangat teliti dalam melihat batasan-batasan ‘sifat-sifat dasar’ (dan sifat-sifat tambahan), telah mengelompokkan perbedaan-perbedaan itu ke dalam dua bagian: esensial dan aksidental.

Mereka percaya bahwa perbedaan dalam satu hal yang esensial disebabkan oleh banyaknya spesies dan dalam hal lain banyaknya genus. Dengan dasar inilah kemudian Aristoteles dan para pengikutnya mengelompokkan semua makhluk menjadi sepuluh genus tertinggi (supreme genera). Contohnya, mereka menganggap bahwa kuda dan sapi adalah dua spesies tetapi pepohonan dan binatang adalah dua genus, namun mereka mengelompokkan kedua pembagian ini di bawah satu genus tertinggi yang disebut substansi.[22]

Sebaliknya, keumuman di antara banyaknya subjek di dalam sifat-sifat esensial menunjukkan unitas substansi dan karakteristik suatu spesies untuk mengenal sifat-sifat esensial yang umum terhadap subjek (yakni konstituen dari karakteristik yang behubungan dengan spesies), yang berarti pengenalan yang lengkap terhadap kebenaran dan esensinya. Sebagai contoh, populasi, pertumbuhan, dan reproduksi, membentuk konstituen esensi satu ‘tanaman’. Semua konstituen ini, ditambah insting dan gerakan yang disengaja, menjadi konstituen esensi ‘binatang’ dan selanjutnya konstituen-konstituen ini ditambah dengan fakultas rasional akhirnya membentuk konstituen esensi ‘manusia’.

Seperti yang dapat kita lihat, sifat-sifat esensial ini – setidaknya secara potensial – adalah sifat yang umum terhadap satu spesies. Dengan kata lain, sifat-sifat esensial suatu spesies adalah kumpulan sifat-sifat generik umum pada subjeknya. Konsekuensinya, esensi setiap wujud mengandung satu atau beberapa sifat-sifat generik. Untuk menjawab pertanyaan “dengan cara bagaimana suatu esensi general dapat menjadi individu tertentu?”, dapat dikatakan bahwa penisbatan aksiden individual misalnya bentuk, warna, waktu dan tempat dapat membantu mengelompokkan satu wujud. Posisi seperti ini sangat umum di dalam dunia filsafat. Oleh karena itu, inti dari semua diskusi filosofis adalah esensi generik dan ‘prinsipalitas esensi’ dalam pikiran manusia.

Namun, kesulitan dasar dari teori ini adalah bahwa ‘aksiden’ pada dirinya sendiri, adalah esensi generik yang telah dikategorisasikan ke dalam sembilan dari sepuluh kategori Aristotelian. Dalam kasus ini, argumen pembedaan untuk setiap aksiden harus diulang. Misalnya, bagaimana warna hitam atau putih yang merupakan esensi aksidental generik harus dibedakan – sehingga ternisbatkannya kedua warna tersebut terhadap esensi substansial menyebabkan pembedaannya?

Untuk menyempurnakan pemahaman kita, seorang filosof besar Islam, Abu Nash al-Farabi (W. 339/950) telah memecahkan masalah ini ketika beliau menyatakan bahwa pada sifat dasarnya tidak ada esensi yang mempunyai perbedaan. Penisbatan puluhan ataupun ratusan esensi general terhadap esensi yang lain tidak menyebabkan pembedaannya. Perbedaan antara esensi aksidental dan esensi substansial hanyalah karena perbedaan wujudnya. Oleh karena itu, secara metaforis dapat dikatakan bahwa biji dari prinsipalitas eksistensi tertanam sebagai subjek yang efisien dan kaya makna di dalam filsafat.[23]

Setelah waktu tertentu, Syihabuddin Yahya Suhrawardi (W. 1191), yang dikenal sebagai Syaikh Al-Isyraq (penghulu mazhab Iluminasi), meneliti konsep-konsep valid yang rasional tetapi tidak mempunyai ‘penampakan luar’. Akhirnya, Suhrawardi menjelaskan bahwa ‘konsep eksistensi’ adalah validitas rasional dan merupakan suatu ‘wujud alasan’ sehingga dengan pandangan ini, Suhrawardi dianggap sebagai pendahulu di antara filsafat Islam yang mempercayai ‘prinsipalitas esensi’.[24]

Kelihatannya pendapat ini seolah-olah agak berlebihan, karena menganggap pengikut peripatetik juga mempercayai ‘prinsipalitas eksistensi’ tidak lepas dari kontroversi; namun setidaknya di dalam pembicaraan setiap kelompok ini, kita dapat menemukan argumen yang berhubungan dengan kelompok yang lain. Namun, beberapa abad kemudian barulah muncul Mulla Sadra yang memfokuskan perhatiannya terhadap masalah yang sangat penting tentang ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian menyelesaikan kesulitan-kesulitan filosofis di dalamnya. Meskipun sebenarnya, pada awalnya, Mulla Sadra juga mempercayai ‘prinsipalitas esensi’, dan seperti yang disampaikannya kepada kita bahwa Sadra sangat membelanya. Namun, pada akhirnya Sadra menerima konsep ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian dibuktikan dengan seluruh kemampuannya untuk menghilangkan keraguan bagi orang-orang yang masih mempercayai prinsipalitas esensi.[25]

Salah satu pertanyaan yang sulit yang kemudian mendapatkan jawaban yang jelas dalam prinsipalitas eksistensi adalah kestabilan dan ketakberubahan esensi. Dengan kata lain, ‘revolusi kaum esensialis’ adalah hal yang tidak mungkin ketika di alam eksternal kita melihat semua makhluk mengalami gerakan evolusi yang di setiap tahapan evolusinya terdapat esensi spesifiknya. Jika seseorang berpegang pada prinsipalitas esensi, maka dia harus mengakui bahwa di setiap proses evolusi dihasilkan suatu esensi spesifik yang kemudian akan berubah lagi pada proses selanjutnya, sehingga dengan demikian suatu esensi baru dibentuk dari esensi sebelumnya yang sama sekali berbeda. Namun, menurut prinsipalitas eksistensi, identitas makhluk yang dapat berubah dan berevolusi itu melekat padanya ketika makhluk tersebut dinisbati deskripsi tentang ‘unitas personalnya’. Lebih dari itu, eksistensinya menjadi lebih kuat dan lebih sempurna, sementara batas eksistensialnyapun akan berubah.

Eksistensi dalam kenyataannya adalah cetakan mental yang diabstraksikan dari batas-batas wujud yang terbatas. Oleh karena itu, ketika batas-batas eksistensial suatu wujud unik berubah selama proses evolusinya, maka pada saat itu konformitas sekian banyak esensi tidak akan menganggu personal unitasnya.[26]

[5] Untuk menjelaskan posisi esensi yang dibandingkan dengan eksistensi di dalam filsafat Mulla Sadra, kita dapat melihat contoh berikut ini. Jika kita memotong-motong kertas menjadi beberapa jenis bentuk seperti segitiga, segiempat dan lain-lain, maka tidak ada sifat objektif yang ditambahkan pada kertas tersebut, tetapi setiap potongan mempunyai batasnya sendiri yang di dalam realitas sebenarnya adalah sifat non-eksisten.

Kita mengabstraksikan konsep tentang segitiga atau segiempat dengan menggabungkan batas non-eksisten setiap bentuk. Ketika suatu makhluk keluar wujud mineral dan menjadi tumbuhan, unitas personalnya tidak hilang pada saat itu. Tetapi, di dalam statusnya yang baru, wujud tadi mengambil cetakan konseptual lain yang disebut ‘tanaman’. Ketika wujud tadi kemudian mencapai insting dan gerakan karena keinginan, maka ia mengambil cetakan dari konsep ketiga atau esensi lain yang disebut ‘binatang’. Oleh karena itu, eksistensilah yang memiliki realisasi objektif; sementara esensi adalah entitas yang merujuk pada batasan khusus suatu wujud. Dengan kata lain, esensi adalah cetakan yang kosong, isinya adalah eksistensi itu.[27]

[6] Kesimpulan yang lain yang diambil dari prinsipalitas eksistensi adalah bahwa jika suatu wujud mempunyai pencapaian eksistensial yang tak terbatas (misalya eksistensi Allah Yang Maha Kuasa) hanya karena wujud tersebut tidak memiliki batasan non-eksisten, maka tak ada satu esensi pun yang dapat dinisbatkan padanya. Akan tetapi, wujud tersebut harus dianggap sebagai ‘eksistensi mutlak.’[28]

Pun secara alami, seseorang tidak akan dapat mengenali sifat yang paling dalam dari wujud tersebut hanya dengan melalui fakultas mental, sebab pikiran kita tidak dapat memahami sesuatu yang tak terbatas dan tidak mampu mendominasi wujud yang tak terbatas (tanpa esensi). Hanya konsep-konsep abstrak saja yang dapat dirujuki oleh siapa saja yang ingin mengetahui kebenarannya yang tak dapat dikenali itu. Sebaliknya, pengenalan objektif terhadap wujud tak terbatas adalah sesuatu yang mungkin jika melalui intuisi mistik dan pengetahuan intuitif (‘ilm hudhuri). Hal ini tergantung pada kapasitas eksistensial mistik dan bukan pada pemahaman terhadap objek yang akan diketahui, yang dalam hal ini adalah wujud Allah Yang Maha Kuasa.

[7] Terakhir, kita akan melihat argumen yang paling jelas dari teori tentang ‘prinsipalitas eksistensi’ yang diajarkan oleh Mulla Sadra. Alasannya adalah, bahwa jika kita merefleksikan atribut-atribut esensi dan memisahkannya dengan atribut-atribut yang lain, kita seharusnya mengetahui bahwa esensi tidak ‘wajib’ mewujud di dunia eksternal. Kita bahkan bisa menegasikan eksistensi luarnya.[29] Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa “tidak ada lingkaran yang riil di dunia eksternal” – tanpa mempertimbangkan apakah proposisi ini benar atau salah. Dengan demikian, sifat-sifat esensi itu biasa saja dan tidak penting jika dibandingkan dengan sifat-sifat eksistensi dan non-eksistensi. Sifat-sifat esensi seperti itu tidak bisa menjadi sifat dasar atau muasal tanda-tanda objektif suatu ekstensi. Malah, esensi itu tak lebih dari sebuah cetakan kosong, dan karenanya prinsipalitas dan originalitas sesuatu merujuk pada eksistensi sesuatu itu.

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa setiap wujud luar adalah suatu wujud individual yang di dalam terminologi filsafat dikatakan ‘eksistensi dililit oleh perbedaan’, sementara esensi tidak pernah dapat dibedakan meskipun digabungkan dengan ribuan kondisi substansial dan general. Sebenarnya, masih ada alasan lain untuk argumen ini, namun tak akan dijelaskan panjang lebar karena terbatasnya tempat. Namun, para pembaca dapat merujuk pada volume pertama metafisika umum Al-Asfar yang ditulis oleh Mulla Sadra untuk mendapatkan penjelasan yang lebih luas.

Catatan:  

[1] Misbah Yazdi, Amuzesh-I Falsafa, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M. Legenhausen & A. Sarvdalir menjadi Philosophical instructions, New York: SSIPS bekerja sama dengan Global Publications, Binghamton University 1999, hal. 445.
[2] Di dalam tradisi filsafat sebelum Mulla Sadra, gerak dianggap sebagai suatu entitas yang tidak ril, kondisi aliran yang stabil (hala sayyala) yang hanya dipahami oleh pikiran sebagai sebuah proses. Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah fil al-asfar al-‘aqliyya al-Arba’a, editor: R. Lutfi dkk, edisi ketiga, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi 1981, Vol III hal. 59: bandingkan: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany: State University of New York Press 1975, hal. 95.
[3] Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 467-72; bandingkan: Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 211 tentang Jenis-jenis Gerak Aksidental dan Esensial.
[4] Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 94-5.
[5] Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 451
[6] Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 446, 472. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 95.
[7] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 176, Vol. III, hal 299.
[8] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 109-111. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 108.
[9] Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 109. Bandingkan dengan catatan Thabathaba’i pada Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 140.
[10] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 61-4. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 96.
[11] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 353-54. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 103.
[12] Seperti yang dipahami oleh sebagian teolog proses – lihat Nicholas Rescher, Process Metaphysics, Albany: State University of New York Press 1996, hal. 156.
[13] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 85; Vol. IV, hal. 271.
[14] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 176
[15] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 61
[16] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 74
[17] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 38-60. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 31-4.
[18] Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 213-30; Misbah Yazdi, Ta’liqa ‘ala Mihayat al-Hikmah, Qum: Dar Rah-I Haqq 1405 Q, hal. 19-39.
[19] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 87. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 27-31.
[20] Terence Irwin, Classical Thought, Oxford: Oxford University Press 1996, hal. 63, 97-8.
[21] Lihat See Henry Corbin, "Aperçu Philosophique," dalam edisinya tentang karya Mulla Sadra Kitab al-Masya’ir sebagai Le Livre des Penetrations Metaphysiques, Tehran: Institut Franco-Iranien 1964, hal. 73, 77-9.
[22] Irwin, Classical thought, hal. 20-35, 47-57; Geoffrey Lloyd, Early Greek Science, Bristol: Bristol Classical Press 1999; Hankinson, "Philosophy of science," in The Cambridge Companion to Aristotle, ed. J. Barnes, Cambridge: Cambridge University Press 1995, hal. 110-111, 124-25. [23] Lihat bab yang menyinggung masalah ini pada Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy, New York: Caravan Books 1982.
[24] Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq [Filsafat Iluminasi], ed./pent. H. Ziai & J. Walbridge, Salt Lake City: Brigham Young University Press 1999, hal. 45-51.
[25] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 49
[26] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 54,66
[27] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 16,36
[28] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 96-7
[29] Mulla Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 10-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar