Sabtu, 18 April 2015

Hujan dalam Puisi dan Stanza




Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2005-2006)


Kadang

Kadang ingin kudengarkan saja rintik hujan
sembari bersandar. Membiarkan bisu
mesra membujukku.

Kadang aku ingin bersama mereka,
merasa bahagia di mana saja
dan tak mempersoalkan kapan ingin tertawa,
kapan ingin pergi dan terlambat pulang.

Kadang aku hanya ingin percaya
jika saja hidup seperti jingga
atau coklat tua, niscaya gembira
seperti sisa cuaca yang tak mesti

berarti apa-apa.
Dan untuk apa aku bertanya dan bertanya:
akankah aku berhenti mengagumi
yang tak terjawab ataukah tidak,

jika aku tak mendengarkannya berbicara,
ketika mereka mengajakku mesra berbincang
dan riang seperti kanak-kanak yang bebas.


November

Betapa indah putih yang beterbangan 
dari ujung senja
dan sisa waktu
dari musim yang sederhana.

Dari desir dan gerak
yang tak sempurna.
Dari keluasan
yang kupandang.

Langkah ditunda, dan aku
terpesona: bahwa dari keriangan
yang sama, akan muncul kepedihan
yang membuatmu heran

dan bertanya. Lalu sekuat angan
kau pun berusaha mengingat
sedikit saja: dari hidup
yang kau pikir tak sia-sia.
Top of Form


Hujan dalam Puisi


–untuk Rumi & Hafiz

Hujan Maret yang sedih, hujan yang hanya ada
dalam puisi. Hujan yang malu-malu
seperti dalam film-film romantis.

Adalah hujan yang menangis
seperti seorang lelaki putus-asa
memikirkan susunan angka untuk

sebuah sajak yang ditulisnya.
Adalah hujan yang kadang diam saja
di depan halaman rumahmu:

kadang pergi begitu saja dalam ragu.
Adalah hujan yang mengagumi

keindahan sepasang matamu
saat kau bingung, bimbang dan berpikir
sepertiku. Hujan yang tak peduli

meski malam telah begitu larut
dan sepi. Dan kau pun begitu:
menimbang-nimbang dan menghitung

apa yang kau ingini.
Dan aku pun begitu, seperti hujan
yang hanya ada dalam puisi. 



Agustus

Barangkali kegembiraanku yang paling ikhlas
adalah kenangan sepohon songler di belakang rumah.
Beberapa kepak unggas ke arah senja
seperti nasib yang kadang malas beranjak.

Saat hujan pun enggan usai,
aku tak tahu apakah aku ketika itu
takut pada sepi yang terbentang.
Mungkin gerimisnya yang paling dingin

lebih mirip sepasang bola matamu
membayangkan rindu paling rimbun
ke arah sosok gunung. Angin dari arah bukit
dan bebatuan, sesekali menabrak

rindang belukar. Setelah itu, tangan-tangan ibuku
sibuk menghitung nyala mungil lampu-lampu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar