Jumat, 17 April 2015

Mulla Sadra dan Empat Perjalanan Kaum Salik


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi –yang bergelar “ Sadr al-Din “ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Sadra atau Sadr al-Muta’alihin. Di kalangan murid-murid serta pengikutnya disebut “Akhund”.

Beliau dilahirkan sekitar tahun 979-980 H /1571-1572 M di Syiraz dimana beliau menerima pendidikan awal. Beliau pergi ke Isfahan untuk menyelesaikan studi ilmu-ilmu intelektual.

Di Isfahan, kemudian menjadi pusat pembelajaran, Sadra mempelajari ilmu-ilmu al-‘Ulum al-Naqliyyah seperti tafsir al-Qur’an dan Fiqh. Isfahan memang tidak mengecewakannya, karena di sana dia menemukan guru-guru terkemuka yang kelak begitu berpengaruh terhadap dirinya. Selama di Isfahan, Mulla Sadra belajar dibawah bimbingan dua orang guru terkemuka –yaitu Syaikh Baha’ al-Din al-‘Amili (953-1031 H / 1546-1622 M) dan Mir Damad (950-1041 H / 1543-1631).

Di antara usaha yang dilakukan Mulla Sadra adalah menjelaskan pembahasan filsafat –yang merupakan suatu bentuk pelajaran penalaran dan pemikiran. Mulla Sadra menggambarkan bahwa manusia mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat tahap perjalanan rohani yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut antara lain :  

Perjalanan Pertama : Safar min al-Khalq ila al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang salik harus melewati stasiun-stasiun, mulai dari stasiun jiwa, stasiun qalb, stasiun ruh dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Pada tahap ini perjalanan rohani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan pertama ini adalah gambaran dari upaya salik mengangkat kesadarannya dari realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum dan juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material dan sustansial serta intelek.

Perjalanan Kedua : Safar bi al-Haq fi al-Haq (perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini seorang salik memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat penyempurnaan teologis seorang salik. Dalam konteks ini Mulla Sadra membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke-Tuhanan.

Perjalanan Ketiga : Safar min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (perjalanan ini dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan). Dalam stasiun ini seorang salik menempuh perjalanan dalam Af’al Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut, Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek.

Perjalanan Keempat : Safar min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). Pada tahap ini perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah pada mereka.
           
Mulla Sadra berdiri di persimpangan empat perspektif intelektual utama dalam Islam, yaitu Illuminationist (isyraq) yang didirikan oleh Suhrawardi, paripatetik (massya’i) terutama yang diwakili oleh Ibnu Sina, dan Nasir al-Din al Tusi dan gnostik  (‘irfan) sekolah Ibn Arabi dengan anggota terkemuka seperti Sadr al-Din al-Qunawi dan Dawud al-Qaysari, dan teologi Islam (kalam). Suhrawardi berpendapat bahwa halangan dalam perjalanan untuk menyadari pengetahuan adalah ketegangan antara murni teoritis, diskursif dan berpikir analitis dan metafisik / pengetahuan intuitif.

Di antara karya Mulla Sadra adalah Al-Hikmat al-Muta’aliyah yang dikenal secara sederhana dengan Asfar. Dalam aliran Mulla Sadra empat aliran berpikir –yaitu aliran paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf tergabung secara sempurna, dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah Muta’aliyah. Aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas, namun pemikiran yang dihasilkannya sedikit berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan yang baru.
           
Dalam kitab Asfar, dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filsuf ilahi. Syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu ma’rifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
                       
Untuk sampai kepada derajat Kasf dan Syuhud maka akal harus dicahayai dengan syari’at, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai olah syari’at maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
           
Menurut filusuf ini, fiqih mengarahkan untuk mengarahkan perbuatan manusia, jika perilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran-pancaran ilmu dan ma’rifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan ma’rifat manusia.
           
Aliran filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan Al Hadits dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al Quran dan hadits bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.
           
Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat Al Hikmah Al Muta’aliyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru di antara filsafat yang ada. Dalam pandangan Mulla Sadra, baik akal maupun syuhud keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyraqi tanpa argumentasi rasional tidaklah memiliki nilai apapun begitu juga sebaliknya.
           
Melakukan suluk rohani untuk mencapai ma’rifat dan pencerahan bathin bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang, karena diperlukan seorang guru yang mampu membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan rohani dan di situ juga terkandung upaya-upaya Setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh jalan rohani tersebut. Tetapi tanpa ma’rifat dan pencerahan bathin tidak mungkin seseorang akan dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya.

Dengan argumentasi-argumentasi rasional Mulla Sadra telah memberikan pelita bimbingan bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan rohani dalam upaya ma’rifat dan pencerahan batin. Inilah metode Al Hikmah Al Muta’aliyah yang dikembangkan Mulla Sadra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar