Sabtu, 04 April 2015

Hujan dan Waktu



 
Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2011)

Sebagaimana jamak kita maphumi, setiap kenyataan dan peristiwa akan senantiasa bersifat subjektif bagi setiap orang atau pengamat yang berbeda alias berlainan. Begitu pula suatu “sunnah alam” yang sama, semisal hujan yang dibicarakan dalam diari singkat ini, tak selamanya memberikan dan menghadirkan keintiman dan suasana yang seragam ketika ia hadir dan datang kepada kita untuk yang pertama-kalinya atau untuk yang kesekian-kalinya.

Bagi saya sendiri, dan tentu saja saya tidak tahu bagi Anda, hujan saya pahami sebagai waktu dan semesta yang tumpah, sebagai aksara yang lahir untuk menjadi kata, menjadi kalimat, singkatnya menjadi sajak. Ini adalah momen ketika saya berada di ruang baca dan meja menulis saya.

Pada saat itu, lewat jendela kaca, saya menyempatkan diri untuk merenungi dan memandangi mereka. Menyimak riuh dan gemericik suara mereka, persis ketika kelahiran dan kematian hadir bersamaan dalam waktu –persis ketika waktu sedang berhenti.

Dan tentu saja, adakalanya mereka menawan saya dalam momen-momen yang lain, seperti ketika saya duduk atau menunggu di halte busway, di kota Jakarta yang tak bahagia itu, dalam keadaan kedinginan –dan saya yakin Anda pernah mengalami momen ini. Ketika mereka mengguyur jalanan aspal dan gedung-gedung bertingkat yang angkuh dan bisu.

Dalam keadaan seperti itu, Anda kadang merasa kesal, jenuh, atau bosan, tak lain karena pada momen itu, mereka menghadirkan dan menghunjamkan kesepian ke dalam perasaan dan hati Anda, kedalam jantung eksistensi Anda yang rentan. Kecuali jika Anda menerima dan mengintiminya sebagai momen puitik.

Kehadiran mereka, ternyata “menciptakan” ragam momen eksistensial dan suasana bathin bagi ragam orang di ragam tempat dan “waktu”. Momen eksistensial bagi seorang kekasih yang memiliki janji atau jadwal untuk bertemu kekasihnya, contohnya. Bagi mereka yang hendak ke tempat kerja atau bagi mereka yang hendak pulang dari tempat kerja, dan lain sebagainya.

Tetapi lain di kota lain pula di desa (di sebuah kosmik ruang-waktu di mana saya menulis diari singkat ini), hujan adalah momen puitik dan peristiwa bahasa, sejumlah perumpamaan kosmis dan spiritual, di mana kematian dan kelahiran, hadir dan datang secara serentak, persis ketika waktu berhenti, dan bahasa kembali ke rahimnya sebagai puisi. Bahasa itu adalah perpaduan kematian dan kelahiran –yang kita sebut waktu. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar