Minggu, 30 Agustus 2015

Mazmur Asmara



(Gambar: Drawing karya seniman realis Iran, Iman Maleki)


Tiga Puisi Sulaiman Djaya


DI JAKARTA

Lampu-lampu sepanjang trotoar
dan rindang pohonan
sudah terbiasa akrab dengan dingin yang menusuk
benang-benang bajuku.

Apakah aku harus menulis puisi
dengan rasa es krim atau cukup bercerita
tentang stocking seorang perempuan
yang selama semalaman belum juga
dapat pelanggan?

Sungguh aku sebenarnya ingin juga seperti mereka
yang kencing sembarangan di semak-semak taman kota
memberi kehangatan
pada serangga-serangga malam
yang kedinginan dan bermimpi

di rimbun lalang pinggir comberan.

(2007)


PENYAIR

Bahwa waktu tak berjalan
di saat aku memendam pertanyaan
dan tak menemukan jawaban.

Debu, benda-benda, dan bayang-bayang sang tahun
sudah sekian lama menertawakanku.
Ruang tempatku setia dan gundah
sama halnya lembar-lembar yang lapuk dan kusam
tempatku menceritakan kebosanan
dan keriangan

adalah perlawanan yang selalu mengajakku
untuk memasuki buku-buku berdebu
yang belum sempat kubaca
tiba-tiba telah meminta
lembar-lembar lain yang tak kuasa kucegah.

Baru kusadari, matamu bukan lagi mataku
dan kau menitip usia yang mudah kulupakan begitu saja.
Apakah kematian sempat meberitahukanmu
kapan aku akan kembali dilahirkan
ke sebuah jazirah yang ingin kukenal,
yang mungkin akan semakin membuatku heran,
terpedaya, girang, atau sekadar berpura-pura dungu

seperti sebuah patung yang menunggu
tiba-tiba kusadari bahwa kau bukanlah diriku
selain bayang sang waktu.

Kau tinggalkan namaku bersama tanggal-tanggal
yang setahuku tak bisa memberiku penjelasan
beda tubuh dan jeda tidur. Sekali waktu
aku bertanya-tanya apa yang kulakukan
tanpa menyisakan ingatan.

Mataku telah menjadi bayang-bayang
yang berkeliaran tak tentu arah
bila aku mencari kata-kata dari dunia-dunia
yang dilupakan dan tergesa
oleh tahun-tahun yang merebutku
dari kenangan masa silam.

(2015)  


MAZMUR ASMARA

Aku menulis puisi lagi
ketika hatiku seperti kemarau di matamu.
Ketika arah petang meliuk hijau
seteduh sajak ini.

Misalkan cinta seringan cuaca,
tetap saja bukan soal sebuah sajak.
Sebab aneh juga, serasa baru kemarin,
semua yang kulihat tampak tersenyum

secantik langit di parasmu.  
Kuingin kau membacanya
dengan kiasan matahari mendatangi
rumput-rumput awal hari.

Dengan selagu matsnawi
yang kau madahkan dalam diri.
Sebab telah kutanggung seribu sanjung
mazmur imanku nun dirundung lumpuh.

Kuingin kau menyimaknya
dengan apa yang dikatakan awan
kepada sang pengembara.
Dengan senandung padang lalang

kepada mereka yang berumah dedaunan
selarut rembangku di Januari matamu.

(2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar