Minggu, 02 Agustus 2015

Kisah Siswi Karina Ke-21





Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)

Persis setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si burung Hudan yang datang kepadanya atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan Sophia.

Keputusan Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena ia telah lama menahan kerinduan untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora, terutama Zipora yang meski tak mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa ada benih-benih duka dalam hati Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak kesayangannya: Ilias, Hagar, dan Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu sedikit terobati dengan kehadiran Siswi Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk karena kesepian yang harus ia tanggung.

Dengan kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya itu, Misyaila pun melesat menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan terbangnya si burung Hudan, meski mereka harus berpisah pada separuh jalan, karena si burung Hudan harus memberi laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah ia melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.

Saat mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja terbangun, sementara benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran daun-daun yang sunyi dan tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca masih terasa dingin bagi si burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila yang mengenakan pakaian bulu yang cukup tebal.

Dan di hari itu ada yang berbeda bagi si burung Hudan, sebab kini ia telah memiliki sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila menyentuhkan tangan ajaibnya ke tubuh si burung Hudan, sehingga ia tak lagi akan merasakan kelelahan meski terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa pun perjalanan yang ia tempuh sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai pesan dan berita.

Jauh sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari berada di antara batas pagihari dan sianghari, mereka pun telah sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing: Misyaila telah sampai di Negeri Telaga Kahana dan si burung Hudan telah sampai di kota Naheret di negeri Farsa.

Di negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa terkejut dengan kehadiran Misyaila. “Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar Zipora. “Berterimakasih-lah kepada anak-anakmu, Zipora!” balas Misyaila, “Sebab kedatanganku ini sangat berkaitan dengan kabar yang disampaikan kedua putri kesayanganmu, Hagar dan Sophia, di negeri Farsa.” “Berkaitan dengan apa itu?” Tanya Zipora. “Putra kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang jenderal, dan saat ini ia tengah mendapatkan tugas dari negeri Farsa untuk membantu negeri Suryan dari gempuran para penjajah yang berusaha menaklukkan negeri tersebut.”

Ada rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati Zipora ketika mendengar tentang kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana pun bagi Zipora, Ilias adalah harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di keluarganya sekaligus meneruskan kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri Telaga Kahana, sebagaimana juga yang diharapkan oleh warga alias para penduduk Negeri Telaga Kahana yang memiliki kekayaan Kristal yang diinginkan bangsa Amarik itu.

“Ilias terlalu cepat dewasa,” kata Zipora. “Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!” sergah Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farsa, ia akan mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat diandalkan untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”. “Kekhawatiranku cukup beralasan, Misyaila!” balas Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan satu-satunya yang menjadi harapanku agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya sendiri untuk meneruskan tugas almarhum suamiku!”. “Sudahlah, jangan kau bebani dirimu dengan segala kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua anak-anakmu!”

Pada saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk menyapa sahabatnya, Siswi Karina, setelah sekian lama mereka tak bersama. “Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?” Tanya Misyaila. “Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Zipora.” Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak sedikit tersipu, dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila. “Syukurlah jika demikian!” ujar Misyaila, “dan aku harap kalian telah menjadi sahabat satu sama lain setelah sekian lama hidup bersama.”

Di tempat lain, di kota Naheret di negeri Farsa, si burung Hudan menceritakan semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi kabar kepada Misyaila seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan dan sampaikan kepada Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di Negeri Telaga Kahana untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.

Tak ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira dengan apa yang diceritakan si burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka kepada ibunda mereka, rasa rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar demi menuntut ilmu di negeri Farsa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun menghadiahi kalung Kristal yang memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib kepada si burung Hudan. Hadiah kalung Kristal tersebut tentu saja sangat bernilai istimewa, sebab kalung Kristal itu merupakan salah-satu warisan Zipora bagi Sophia dan Hagar. (Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar