Rabu, 15 Juli 2015

Melansir Ateisme





Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 17 Februari 2015)

Imam Ali bin Abi Thalib as pernah berkata, “An-Naasu niyaamun, faidza maatuu intabahuu” (Manusia itu tidur –dan ketika mati barulah terbangun (sadar)”. 

Mungkin pernah terpikir oleh Anda bahwa setelah Anda mati (entah kapan itu karena kita semua tak pernah tahu waktu kematian kita sendiri) akan dihidupkan lagi sebagaimana lazimnya orang-orang theis mempercayainya –juga para ilmuwan atau fisikawan yang lazim dikenal sebagai Mazhab Kreasionis? Atau barangkali pernah terpikir oleh Anda bahwa ketika mati, Anda akan hancur dan menjadi tiada begitu saja dan tak mempercayai keabadiaan (kebangkitan) setelah kematian sebagaimana yang didengungkan sejumlah ilmuwan (sejumlah oknum ahli fisika dan ahli biologi) yang disebut kaum Evolusionis-Materialis Atheis?

Pertanyaan itu dimiliki bersama oleh para filsuf, para ilmuwan, para teolog, sejumlah penyair, dan tentu saja orang-orang biasa seperti kita. Dan pandangan itu terkait juga dengan pandangan, spekulasi, usaha untuk mengetahui apakah penciptaan dan keberadaan kita sendiri dan jagat-raya (alam semesta), di mana salah-satu planet di jagat raya itu adalah tempat kita tinggal dan hidup –adalah kebetulan semata atau karena memiliki tujuan atas dasar penciptaan?

Sejumlah fisikawan (yang umumnya para fisikawan theis dan religius semisal Isaac Newton, Max Planck, Albert Einstein, dan lain-lain) mempercayai keberadaan kita dan alam semesta (jagat-raya) karena diciptakan dan ada satu “wujud” yang maha yang menciptakan dan yang mengaturnya. Pandangan inilah yang lazim dikenal sebagai pandangan kreasionis, meski ada ragam perspektif dalam mazhab kreasionis sendiri, terlebih dengan mereka yang lazim dikenal sebagai kaum kreasionisme baru.

Sementara sejumlah ilmuwan lain berpandangan bahwa keberadaan kita dan jagat-raya (alam semesta) hanyalah kebetulan semata dan berlanjut dengan proses evolusi yang lambat yang memakan waktu bermilyar-milyar tahun. Pandangan inilah yang lazim kita kenal sebagai pandangan Kaum Evolusionis-Materialis Atheis (semisal sejumlah oknum kosmolog, ahli fisika, dan ahli biologi) jaman ini.

Tentu saja Anda bebas memilih dua kutub pandangan yang saling bertolak-belakang tersebut. Jika, misalnya, Anda memilih dan merasa pas dengan pandangan evolusionis-materialias atheis, maka itu artinya Anda tak mempercayai hidup setelah mati (kebangkitan) –there is no life after death, begitu kira-kira.

Namun sebaliknya, jika Anda meyakini bahwa kehidupan ini merupakan jembatan penyebrangan semata (sebagaimana saya sebagai muslim meyakininya) ke kehidupan yang lebih kekal, maka pastilah kebajikan-kebajikan yang kita lakukan selagi hidup yang menjadi “tiket”-nya dan tak melakukan kejahatan atau ketak-bajikan dengan mengatasnamakan agama kita –karena itu sama artinya dengan mendustai iman dan agama kita sendiri.

Muhammad Rasulullah bersabda, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) orang-orang beriman, dan bukan orang beriman yang tidak berbuat kebajikan”, demikian sebuah hadits yang saya terjemahkan secara bebas dari redaksi bahasa Arab berdasarkan riwayat yang dicatat oleh Muslim.

Kemampuan dan kapasitas untuk memilih itu sendiri sudah ada dalam diri kita –yaitu pada hati dan akal kita, di mana sumbu dan sumber intelegensi kita adalah hati, sebagaimana do’a nabi Musa alayhis-salam ketika hendak bernegosiasi dengan bangsa Mesir demi membebaskan rakyatnya (bangsanya) sendiri. “Rabbi israh lii shadri” (Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku), di mana kata “shadrun” merupakan kosakata rangkuman dari hati dan wadah hati itu sendiri –ia mencakup hati itu sendiri sekaligus dada tempat hati itu berada, yang dengannya akal (otak) kita hanya media (instrument) dari intelegensia hati tersebut.

Dan sebagaimana kita tahu bersama, intelegensi dan akalnya (otak kita) itu pula yang “membedakan” manusia dari binatang-binatang lainnya, yang membuat manusia unggul, yang contohnya ditunjukkan dengan kemampuan berbahasa (bukan sekedar berbicara atau berkomunikasi antar sesama semata). Dan itulah fakultas yang dimilikinya untuk berpikir, mengambil i’tibar, dan melakukan pilihan. Muhammad Rasulullah bersabda, “Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan”.

Sebab berkat kemampuan dan kapasitas berbahasa inilah manusia sanggup mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan, di saat para binatang tidak dapat melakukannya (di mana para binatang hanya sekedar mengandalkan insting mereka). Kapasitas dan berkah berbahasa inilah yang mementahkan reduksionisme kaum evolusionisme-materialis atheis, di mana mereka juga seakan-akan mengabaikan bahwa ratusan ribu tahun silam manusia juga telah sanggup membangun peradaban-peradaban dan mahakarya-mahakarya, sebagaimana dikemukakan para arkeolog, sejarawan, dan yang sejenisnya.

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti” (al Qur’an surah Yunus: 39). “Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka” (al Qur’an surah an Najm: 23).

Sebagaimana kita tahu, sains sekalipun tak pernah imun (kebal dan bebas) dari waham, dari praduga atau pengira-pengiraan semata –dan sejarah sains telah membuktikannya sendiri. Teori Ruang-Waktunya Isaac Newton, contohnya, dibuktikan keliru oleh Teori Ruang-Waktunya Albert Einstein. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata, “Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya”.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, waham bisa hinggap pada siapa saja –pada orang-orang biasa atau pada para ilmuwan. Barangkali, pandangan-pandangan Richard Dawkins bagi kita kaum theis, bila kita menggunakan kerangka kaum evolusionis-materialis atheis sendiri, adalah sebuah kebetulan agar hidup tetap memiliki lelucon, yang dalam konteks ini adalah lelucon yang “ilmiah”.

Namun, haruslah diakui di sisi lain bagi kita kaum theis, umur kita sendiri terlalu singkat untuk mempercayai lelucon spekulatif kaum evolusionis-materialis atheis –bahkan kita tak pernah tahu kapan kita akan mati. Muhammad Rasulullah mengingatkan kita, “Faktsiruu dzikro haadimil laddzah, wahuwal maut” (Perbanyaklah mengingat sang pemutus kenikmatan –yaitu kematian!). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar