Minggu, 19 Juli 2015

Wikileaks, Julian Assange, dan Dana Bank Century untuk Kampanye SBY (Bag. 2)





Soal ‘Pembangkangan’ Yusril Ihza Mahendra
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Yahya Assagaf yang disebutkan sebagai “asisten Kepala Badan Intelijen Negara”, Syamsir Siregar. Yahya, kata telegram, bilang kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah memanggil Syamsir dan minta mengirim spion untuk memata-matai gerak Sekretaris Kabinet, Yusril Ihza Mahendra. Presiden Yudhoyono, kata telegram, marah sebab Yusril berdalih minta izin cuti sepekan untuk kembali ke kampung halaman demi mengurus urusan keluarga, tapi belakangan diketahui bepergian ke Singapura dan Vietnam.

Kata Yahya, pejabat di Singapura belakangan mengetahui kalau Yusril datang untuk bertemu kalangan pebisnis China. Yahya, kabarnya berada di ruang yang sama saat Syamsir menerima telepon dari Presiden Susilo Bambang Yuhdhoyono, bilang kalau ini sudah kali kedua Yusril melakukan perjalanan yang tak disetujui presiden.

(Catatan Islam Times: Laporan The Age dan pers Jakarta sejauh ini ‘menyembunyikan’ sosok Yahya, menggambarkannya ‘hanya’ sebagai “agen BIN”, dan seperti sengaja ‘menceraikannya’ dengan sosok Syamsir Siregar dalam telegram. Laporan The Age juga menyebutkan kalau pengutusan intel BIN untuk memata-matai gerak Yusril semata karena dia adalah musuh politik presiden dan bukan karena soal Yusril sudah dua kali mengajukan alasan izin palsu: … “The cables say Dr Yudhoyono has personally intervened to influence prosecutors and judges to protect corrupt political figures and pressure his adversaries, while using the Indonesian intelligence service to spy on political rivals and, at least once, a senior minister in his own government.”)

Soal Dugaan ‘Simpati’ Seorang Menteri pada Ba’asyir
Sumber dalam gossip tema ini masih Yahya Assagaf. Yahya bergosip ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Menteri Agama di tahun itu, Maftuh Basyuni, bersimpati pada Abu Bakar Ba’asyir, sosok kontroversial yang, dalam telegram, digambarkan sebagai boss besar ‘Jamaah Islamiyah’. Kata Yahya, usai mengikuti sebuah seminar di pesantren Ba’asyir, Maftuh kembali ke Jakarta dan bilang ke Yahya kalau orang-orang Ngruki “baik” dan “intelektual”.

Yahya juga bilang kalau Mahfuh berencana mendukung pembangunan jalan baru menuju kawasan pesantren. Kata Yahya lagi, berdasarkan yang dia dengar dari Maftuh, boss besar BIN, Syamsir Siregar, pernah mengirim donasi untuk Ngruki. Di telegram, Yahya bilang kalau dia belum mengkonfirmasi soal yang terakhir ini ke Syamsir kendati dia bilang dia menduga ini benar adanya, mengingat Syamsir ingin mendukung kalangan ‘moderat’ di Ngruki. Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)

Soal Tuduhan Menteri Sudi Terkait Rusuh di Ambon
Gossip dalam tema ini bersumber dari Roy Janis. Tanggal gossip tak disebutkan. Intinya: Roy kabarnya pernah mendengar kalau Sudi Silalahi, kala itu adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), berada di balik pecahnya kekerasan sektarian di Maluku. Roy, kata telegram, telah mengecek kabar ini ke Engelina Pattiasina, seorang anggota parlemen dari Maluku, dan mengeluhkan kekerasan di Maluku dan sosok Sudi di baliknya.

Tak berapa lama lepas itu, kekerasan di Maluku berhenti dan Roy menangkap kejadian itu sebagai ‘bukti’ kemampuan Sudi mengontrol situasi dan, sebab itu, dia punya saham di balik kekerasan di Ambon. (Catatan Islam Times: dalam telegram, tak ada penjelasan apa kaitan antara Engelina dan Sudi).

Sumber gossip kedua dalam tema ini adalah “seorang diplomat Singapura” yang identitasnya tak disebutkan. Intinya, sang diplomat Singapura mendapati kesan kalau Sudi Silalahi membina hubungan dengan “kelompok-kelompok radikal Islam”. Kata sang diplomat Singapura, beberapa editor senior media secara terpisah menaikkan berita seputar sebuah pertemuan di bulan Ramadhan 2005 yang dihadiri oleh seorang perwakilan Noordin Top (buron, tokoh sentral Jamaah Islamiyah kala itu) dan seorang wakil Sudi, kalau tidak Sudi sendiri. Kalangan editor berbisik ke sang diplomat Singapura bahwa wajar Sudi hadir dalam rapat seperti itu mengingat dia punya koneksi dengan kalangan kelompok Islam.

Ada catatan dalam telegram sekaitan hal ini. Disebutkan bahwa pada 15 November 2005, Harian Kompas menggambarkan terjadinya sebuah pertemuan pada 7 November, beberapa hari sebelum polisi membunuh Azahari dalam sebuah penggerebekan. Tujuan pertemuan disebutkan untuk memfasilitasi gencatan senjata agar JI berhenti dari menebar teror bom dan sebagai gantinya pemerintah tak akan mengejar mereka lagi. (Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)

Soal Tuduhan Presiden SBY Menekan Hakim
Telegram bilang kalau Yenny Wahid (kala itu masih menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa) telah berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta dan bilang kalau PKB “tak punya pilihan” kecuali mengatur mendukung Presiden SBY di tengah perlawanan keras Abdurrahman Wahid (ayahnya, sekaligus bekas presiden) pada rezim yang berkuasa.

Yenny disebutkan mengatakan bahwa orang-orang sangat berpengaruh di lingkaran Presiden SBY telah mencoba mempengaruhi hasil persidangan, dengan mengintimidasi hakim, terkait sengketa dualisme PKB di pengadilan. Telegram bilang Yenny nampaknya merujuk ke sosok Sudi Silalahi. Kata telegram, Sudi mengirim orang-orangnya ke hakim yang menangani perkara dan bilang kalau Wahid adalah pembuat onar, dan jika putusan memenangkan Wahid, bisa jadi pemerintah tumbang. Yenny kemudian bilang kalau hakim yang kena tekanan melaporkan insiden ini ke tokoh PKB, yang kemudian mengajukan komplain ke Presiden SBY. Yenny lalu bilang kalau presiden kala itu terlihat ‘terperajat’ dan ‘kecewa’ mendengarnya. Yenny juga bilang penunjukan Erman Suparno sebagai Menteri Tenaga Kerja kala itu nampaknya sebagai kompensasi atas intervensi rezim dalam kasus sengketa dualisme PKB.

Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini. Di sejumlah media Jakarta, lepas The Age menurunkan berita eksklusif yang antara lain menggambarkan adanya tekanan Sudi Silalahi pada hakim yang mengadili sengketa dualisme kepengurusan PKB, Yenny termasuk yang menyayangkan adanya intervensi dari pemerintah).

Soal Tudingan Aksa Mahmud ‘Bermain’ di PKB
Gosip dalam tema ini masih bersumber pada sosok Yenny Wahid. Yenny, kata telegram, membisikkan ke telinga diplomat Amerika di Jakarta kalau Aksa Mahmud, besan Jusuf Kalla (dalam telegram digambarkan salah sebagai “saudara” Jusuf Kalla), menggelontorkan banyak uang demi kemenangan kubu Alwi Shihab dalam Kongres PKB pada 2005.

Sumber lain gosip dalam tema ini adalah bekas politisi Partai Amanat Nasional, Alvin Lie. Dalam telegram, Alvin disebutkan membisikkan gosip kalau Ali Masykur Musa (kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PKB di DPR) bentrok dengan boss besar partai kala itu, Abdurrahman Wahid. Ceritanya, dalam sebuah debat soal pemotongan subsidi bensin di DPR pada Maret 2005, Ali Masykur menerima “banyak uang” dari Aksa Mahmud sebagai gantinya PKB akan mendukung rencana pemerintah memangkas subsidi bensin. Kendati, kata telegram, Ali Masykur memakan sendiri uang itu dan sebab itulah partai tak mendapat dukungan rezim. (Catatan Islam Times: bagian ini sama sekali tak tercantum dalam laporan The Age).

Soal Yenny Wahid yang Dianggap Belum Lihat Membagi Amplop
Yenny jadi subjek gosip dalam tema ini. Sumbernya: diplomat Singapura yang tak disebutkan identitasnya. Kata sang diplomat Singapura, berdasarkan informasi yang dia dengar dari Khofifah Indar Parawansa, Yenny mencoba mempengaruhi delegasi Kongres Fatayat NU agar mendukung kandidat lawan Khofifah dengan membagi-bagikan sendiri ‘amplop’ ke peserta kongres. Sang diplomat menggambarkan Yenny bukan juru bayar yang ‘baik’. Langkahnya mudah dibaca, sosoknya selalu terlihat, dan kerap membagikan uang justru ke asisten peserta kongres dan bahkan ke peserta kongres yang telah berniat memilih Khofifah. Yang terakhir menang telak dalam kongres kala itu.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung subjek ini, begitupun dengan hampir semua media Jakarta hingga hari ini). (Bersambung ke Bag. 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar