Kamis, 16 Juli 2015

Tiga Usia Jacques Derrida




Oleh KRISTINE MCKENNA

Ketika orang-orang membicarakan intelektual Prancis gila dan seorang superstar esoteris, ketika mereka tersandung oleh kata dekonstruksionisme di Entertainment Weekly dan bertanya-tanya apa kira-kira artinya, ketika para mahasiswa di seluruh dunia dipaksa untuk memahami apa artinya—seperti yang sudah mereka lakukan selama 20 tahun ini, maka semuanya mesti dikembalikan kepada Jacques Derrida.

Derrida, salah satu figur intelektual paling berpengaruh pada seperempat abad terakhir, adalah Bapak Dekonstruksionisme, sebuah sistem analisis kontroversial, yang dirancang untuk membongkar bahasa dan membuka bias dan kesalahan-kesalahan asumsi yang melekat di dalamnya. Berakar pada keyakinan bahwa bahasa memuat hal-hal yang tak bisa atau dihalangi untuk mencapai kesadarannya yang penuh, Dekonstruksionisme merupakan sebuah metodologi lentur yang bisa diterapkan pada tiap-tiap dan semua teks—dan memang, dampaknya pada kritik sastra setara, jika tidak lebih besar, dari jejak yang ditinggalkannya pada wacana filsafat.

Lahir pada 1930 dalam keluarga Yahudi Sefardis [pengikut tradisi dan kebiasaan kaum Yahudi yang menetap di Spanyol dan Portugal pada akhir abad ke-15] di Aljazair, Derrida muda mempertanyakan prasangka intelektual pada usia 10 tahun, ketika Aljazair dikendalikan oleh rezim Vichy dukungan Prancis. Dia dikeluarkan dari sekolah setelah sebelumnya seorang guru memberitahunya bahwa, “kebudayaan Prancis tak dibuat untuk anak Yahudi”. Dia lalu dikenal sebagai murid pengganggu dan berkepala batu, dan pada usia 19 tahun dia pindah ke Paris untuk belajar filsafat di École Normale Supérieure. Di sanalah dia bertemu Marguerite Aucouturier, seorang psikoanalis, yang dinikahinya pada 1957. Belajar di sana dari 1952 hingga 1956, fokus Derrida terutama adalah pada karya-karya filsuf Jerman Edmund Husserl dan Martin Heidegger, dan tulisan-tulisannya tentang mereka membuatnya memperoleh beasiswa ke Harvard pada 1956. Dia kembali ke Paris pada 1960 untuk mengajar filsafat di Sorbonne, dan 2 tahun kemudian menyatakan kemerdekaannya sebagai filsuf dengan menerjemahkan karya Husserl, Origin of Geometry, dengan memberinya kata pengantar sangat panjang yang membuat esai Husserl jadi tampak tak seberapa. Pada 1967 dia menerbitkan gagasan pokoknya dalam 3 buku yang terus dibicarakan hingga kini—Speech and Phenomena, Writing and Difference, dan Of Grammatology—yang membawanya ke pusat wacana filsafat. Derrida, yang telah menulis 45 buku dan telah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa, diangkat menjadi profesor tamu di University of California at Irvine pada 1986. Satu kebijakan besar dibuat universitas, yaitu memulai proyek arsip Derrida pada 1990.

Derrida berbicara dengan saya di kantornya yang sederhana di Irvine. Mengingat karya-karyanya yang ambisius dan tak kenal takut, mengejutkan bahwa ternyata dia orang yang gampang ditemui, dan gagasan-gagasannya lebih tak menciutkan nyali ketika dibicarakan ketimbang dituliskan. Dia orang yang sangat hangat, dan kharismanya muncul jelas di sepanjang bagian Derrida, sebuah film dokumenter arahan Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman yang diluncurkan minggu ini.

Mengapa Anda setuju tampil dalam film ‘Derrida’?

Saya tak serta-merta setuju. Saya mesti mulai dengan berusaha keras menerima ketidaknyamanan yang saya rasakan tentang gambar saya di foto-foto. Saya berhasil melewati hampir 20 tahun tanpa satu pun kemunculan foto diri saya dalam hubungannya dengan buku-buku saya, dan ada dua alasan untuk itu. Pertama, saya punya apa yang mungkin Anda sebut sebagai penolakan ideologis atas fotografi konvesional—potret wajah, gambar seorang penulis dengan meja kerjanya—karena hal itu seperti sebuah konsesi untuk penjualan atau untuk media. Alasan yang kedua adalah bahwa saya selalu mempunyai hubungan yang sulit dengan tubuh dan gambar saya sendiri. Sulit buat saya melihat diri saya sendiri pada foto. Jadi selama 20 tahun saya memberi ijin kepada diri saya sendiri untuk menghapus gambar saya dengan alasan politis. Dekade terakhir ini menjadi lebih sulit, karena saya terus-menerus tampil di ruang publik pada konferensi yang dihadiri wartawan, kebanyakan dari mereka mengambil gambar saya. Akhirnya ini jadi tak mungkin dikendalikan, dan kemudian saya merasa tiba waktunya untuk mengalahkan penolakan ini, akhirnya saya membiarkannya. Dan saya mesti bilang, saya tekejut dengan keberhasilan film itu dalam memadukan kehidupan sehari-hari keluarga yang bersifat privat dengan hal-hal yang kurang privat—perjalanan yang saya lakukan ke Afrika Selatan selama masa pembuatan film, umpamanya—dan refleksi tentang subjek-subjek besar. Film itu tetap pada jalur tersebut, dan bertanya tentang biografi penulis. Apakah seorang filsuf mesti punya biografi?

Bagaimana mungkin seorang filsuf tak punya biografi?

Tentu dia punya biografi, tetapi pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah kita mesti menerbitkannya. Haruskah dia menceritakan biografinya sendiri? Haruskah dia memberikan hidupnya kepada publik dan ditafsirkan?

Bagaimana Anda memisahkan tulisan seorang filsuf dengan hidupnya?

Saya tak tahu apakah itu bisa, tetapi kebanyakan filsuf klasik telah berusaha memisahkannya, dan beberapa di antara mereka berhasil. Jika Anda membaca teks-teks dalam tradisi filfasat, Anda akan tahu bahwa mereka hampir tak pernah bilang “Aku”, dan tak berbicara sebagai orang pertama. Sejak Aristoteles hingga Heidegger, mereka berusaha menganggap hidup mereka pribadi sebagai sesuatu yang berada di pinggiran atau sesuatu yang kebetulan. Yang esensial adalah pengajaran dan pemikiran mereka. Biografi merupakan sesuatu yang empiris dan berada di luar, dan dianggap sebagai sebuah kebetulan yang tak punya hubungan esensial dan perlu dengan sistem atau aktivitas filosofis.

Di film itu Anda ditanya: Jika Anda bisa berbicara dengan filsuf yang Anda kagumi dalam semua hal, hal apa yang ingin Anda dengar? Anda menjawab, “Kehidupan seks mereka, karena itu adalah hal yang tak mereka bicarakan”. Tetapi ketika pewawancara bertanya tentang kehidupan seks Anda sendiri, Anda menolak menjawab. Mengapa wilayah ini tak terjamah?

Saya menolak menjawab pertanyaan bukan karena saya pikir itu adalah hal yang mesti disembunyikan, tetapi karena saya tak mau membuka aspek paling personal dari kehidupan saya sembari bergaya di depan kamera dan berbicara dengan bahasa asing. Jika saya membicarakan hal semacam itu, saya lebih memilih mempertajam alat-alat saya—tulisan saya. Jika Anda membaca saya, Anda akan menemukan banyak teks dimana saya membicarakan pertanyaan-pertanyaan ini dengan cara saya. Glas [1974], The Post Card: From Socrates to Freud and Beyond [1980], dan Circumfession [1991] adalah karya-karya biografis, dan kehidupan serta hasrat-hasrat saya tertulis dalam semua karya saya.

Bisakah Anda mengingat momen ketika menyadari bahwa Tuhan, sebagaimana kata itu dipahami secara konvensional, adalah sebuah gagasan yang tak bisa Anda rengkuh?

Untuk mendiskusikan hal ini kita mesti berpegang pada definisi tertentu tentang tuhan—yaitu sebagai kata yang dipahami secara konvensional. Tetapi, ya, saya bisa mengingatnya. Waktu kecil, saya secara berkala dibawa ke sebuah sinagog di Aljazair, dan itu adalah salah satu aspek Yudaisme yang saya suka—umpampanya musiknya. Namun kemudian, sebagai remaja saya mulai melawan agama, tidak atas nama atheisme, tetapi karena saya menyadari bahwa agama seperti yang dijalankan dalam keluarga saya penuh dengan kesalahan pemahaman. Ia membuat saya tak berpikir, sekedar melakukan pengulangan-pengulangan buta, dan khususnya ada satu hal yang menurut saya tak bisa diterima, yaitu hilangnya penghormatan. Rasa hormat dalam membawa dan membaca Torah diperjual-belikan di Sinagog, dan menurut saya itu sangat buruk.

Lalu ketika saya berumur 13 tahun, saya membaca Nietzche untuk pertama kali, dan saya pikir saya tak sepenuhnya memahami dia, dia memikat saya. Buku harian saya kemudian dipenuhi kutipan dari Nietzche dan Rousseau—dewa saya lainnya pada waktu itu. Nietzche bertujuan menjatuhkan Rousseau, tetapi saya menyukai keduanya dan bertanya-tanya, bagaimana saya bisa mendamaikan keduanya dalam diri saya?

Heidegger mengatakan, dalam sebuah wawancara sesaat sesudah Perang Dunia II, yang dia minta tak diterbitkan hingga kematiannya pada 1976, “Filsafat sesudah Nietzsche tak dapat menawarkan pertolongan dan harapan bagi masa depan umat manusia. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu kehadiran kembali Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita sekarang”. Anda setuju?

Saya tak akan menggunakan istilah “tuhan”, tetapi yang menarik buat saya dalam pernyataan ini adalah tentang Heidegger yang anti-religius. Ia dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi dia mati-matian menolak Kristianitas, jadi tuhan yang dia tunjuk bukanlah tuhan yang kita tahu. Dia menunjuk tuhan yang bukan hanya belum lagi datang, tetapi mungkin juga tuhan yang tidak eksis. Dia menamai tuhan untuk menyebut sesuatu yang diharapkan, dan mengiaskan bahwa sesuatu yang akan datang dan menyelamatkan kita akan kita beri nama tuhan. Saya tak setuju dengan pernyataan ini jika ia mendorong harapan akan keselamatan. Tetapi jika pernyataan itu berarti kita tengah menunggu kedatangan sesuatu yang tak terduga, dan bahwa kita mesti bersabar menunggu kedatangannya, maka saya tak berkeberatan. Ini adalah sesuatu yang saya sebut sebagai mesianitas tanpa mesianisme (messianicity without messianism), dan manusia sesungguhnya bersifat mesianis. Kita tak bisa tidak begitu, karena kita eksis dalam sebuah keadaan mengharapkan sesuatu akan terjadi. Meski kita tengah berada dalam sebuah keadaan hampa harapan, dorongan akan pengharapan merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan kita dengan waktu. Hampa harapan hanya mungkin karena kita berharap bahwa sejumlah kebaikan atau seseorang yang kita cintai akan datang. Jika itu yang dimaksudkan Heidegger, maka saya setuju dengannya.

Apakah Anda takut mati di masa kanak-kanak, selama berlangsungnya Perang Dunia II?

Tidak. Masa perang adalah pengalaman yang sulit bagi saya, tetapi itu tak bisa dibandingkan dengan apa yang dialami orang-orang Yahudi di Eropa. Ada anti-Semitisme yang sangat buruk di Aljazair, tapi di sana tak ada Jerman, tak ada kamp konsentrasi, tak ada deportasi Yahudi besar-besaran. Tetapi trauma itu tetap ada. Ketika Anda dikeluarkan dari sekolah tanpa tahu kenapa, itu menandai Anda.

Dalam buku Ron Rosenbaum yang terbit 1998, Explaining Hitler, ia menyatakan bahwa korban terbesar Hitler adalah pemaknaan atas Holocaust itu sendiri, karena makna koheren tak dapat ditemukan pada Holocaust. Anda setuju?

Saya akan sangat hati-hati di sini. Saya tahu ada beberapa filsuf yang berpikir bahwa hal yang benar-benar baru dalam pembantaian Holocaust adalah bahwa di sana tak ada struktur pengorbanan (sacrificial structure). Ia sangat dingin, rasional, industrial, dan tak diberi makna pengorbanan (sacrificial meaning). Saya tak yakin bahwa itu benar. Saya tak siap menjawab pertanyaan itu tanpa memikirkannya dengan lebih mendalam.

Apa pertanyaan pokok filsafat yang mesti dijawab?

Pertama-tama, bagaimana menangani hidup manusia dan bagaimana hidup bersama secara baik—ini juga soal politik. Soal inilah yang dibahas dalam filasafat Yunani, dan sejak awal filsafat dan politik sangat berkaitan satu sama lain. Kita adalah mahluk hidup yang punya kemampuan untuk mengubah hidup, dan kita menempatkan diri kita di atas binatang-binatang lainnya. Saya bersikap kritis terhadap pertanyaan tentang binatang dan bagaimana ia dibicarakan dalam filsafat, tapi itu soal lain. Hingga kini kita berpikir bahwa kita bukan hewan dan kita punya kemampuan untuk mengatur kehidupan kita. Filsafat mengajukan pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan untuk memperoleh kehidupan terbaik yang paling mungkin? Saya khawatir bahwa kita tak membuat banyak kemajuan dalam menjawab pertanyaan itu.

Apa perbedaan antara pengetahuan dan kebijaksanaan?

Pengetahuan dan kebijaksanaan tidak sejajar. Anda bisa tahu banyak hal dan tak punya kebijaksanaan sama sekali. Diantara pengetahuan dan tindakan terdapat sebuah jurang, tetapi jurang itu tak seharusnya menghalangi kita untuk berusaha tahu sebanyak mungkin yang kita bisa sebelum kita mengambil keputusan. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Philia itu cinta, dan Sophia itu kebijaksanaan. Jadi tugas menuju kebijaksaan, itulah filsafat. Meski begitu, keputusan tidak hanya tergantung pada pengetahuan. Saya berusaha tahu sebanyak mungkin yang saya bisa sebelum mengambil sebuah keputusan, tetapi saya tahu pada momen mengambil keputusan itu saya melakukan sebuah lompatan melampau pengetahuan.

Apakah mencapai sebuah pemahaman, seperti yang Anda jelaskan pada buku Anda yang terbit pada 1976, membawa Anda kepada kebahagiaan yang lebih besar?

Saya tak akan bilang itu membuat saya lebih bahagia, tetapi ia memberi saya kekuatan untuk berjalan terus. Saya menjalani suatu hidup yang sangat aktif dan melelahkan, dan jika seseorang mengatakan kepada saya, ketika saya berumur 20 tahun, bahwa saya akan mengerjakan apa yang saya kerjakan sekarang pada usia 72 tahun, saya tak akan mempercayainya. Secara fisik saya pasti lebih rentan, dan saya akan ambruk oleh banyaknya pekerjaan saya sekarang. Manakala karya-karya saya dibaca, itulah yang memberi saya kekuatan seperti sekarang ini. Orang-orang begitu baik dengan saya dan karya-karya saya, dan saya yakin, tanpa kebaikan itu, saya akan ambruk.

Kenapa tak ada filsuf perempuan?

Karena wacana filsafat diatur dengan cara meminggirkan, menekan, dan membungkam perempuan, anak-anak, binatang, dan budak. Begitulah strukturnya—bodoh sekali jika kita mengabaikannya—dan konsekuensi dari hal itu adalah tidak ada fillsuf besar perempuan. Ada pemikir besar perempuan, tetapi filsafat adalah salah satu langgam khusus pemikiran diantara langgam pemikiran lainnya. Tetapi kita tengah berada pada tahap sejarah di mana hal-hal semacam ini berubah.

Apakah Anda akan menyebut diri Anda seorang feminis?

Ini satu masalah besar, tapi, ya. Banyak karya saya berkaitan dengan dekonstruksi falosentrisme, dan jika saya mesti mengatakan tentang diri saya, saya adalah salah satu orang yang pertama membawa pertanyaan ini ke pokok wacana filsafat. Tentu saja saya ingin penindasan atas perempuan berakhir, khususnya yang diabadikan dalam dasar-dasar filsafat falosentrisme, jadi dari sisi itu saya adalah sekutu kebudayaan feminin. Tetapi hal itu tidak mencegah saya untuk meragukan sebagian manifestasi feminisme. Sekedar menantang hirarki, atau bagi perempuan berarti sekedar mencocokkan diri dengan aspek-aspek paling negatif dari apa yang secara konvensional dipandang sebagai perilaku maskulin, tidak akan bermanfaat bagi siapapun.

Kesalahpahaman apa yang paling sering terjadi menyangkut Anda dan karya-karya Anda?

Bahwa saya disebut sebagai seorang nihilis yang tak percaya pada apapun, yang berpikir bahwa tak ada apapun yang bermakna. Itu tolol dan sepenuhnya keliru, dan hanya orang-orang yang tak pernah membaca karya saya yang berkata begitu. Ini adalah pembacaan keliru atas karya saya yang bermula 35 tahun lalu, dan sulit untuk menghancurkannya. Saya tak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu merupakan persoalan bahasa dan kita hanya hidup dalam bahasa. Sesungguhnya, saya berkata sebaliknya, dan dekonstruksi logosentrisme disusun tepat untuk membongkar filsafat yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bahasa. Siapapun yang membaca karya saya dengan hati-hati, memahami bahwa saya menuntut afirmasi dan keyakinan, dan bahwa saya selalu menghormati teks-teks yang saya baca.

Dengan pemahaman yang memadai tentang Yang Lain (the Other), bisakah dorongan membunuh dihapuskan?

Dorongan untuk membunuh tak akan pernah bisa dihapus, karena ia merupakan bagian dari insting manusia. Manusia punya kemampuan untuk menjadi buas, dan membuat penderitaan bagi Yang Lain (the Other) bisa merupakan satu sumber kesenangan. Bahwa ia tak bisa dihilangkan, itu tidak berarti bahwa kita punya hak untuk membunuh—dan ini merupakan salah satu fungsi penting filsafat dan berpikir, yaitu menangani dorongan besar ini. Kebuasan dan agresi selalu ada, tetapi ia bisa diubah menjadi sesuatu yang indah dan sublim. Ketika saya menulis, di sana terdapat unsur agresi, tetapi saya berusaha mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna. Agresi bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih menarik ketimbang membunuh—dan tentu saja, Anda bisa membunuh tanpa membunuh. Saya bisa membunuh Yang Lain (the Other) tanpa mengakhiri hidupnya, dan saya bisa menjadi agresif dengan cara tak tercela.

Konsep wilayah (territory) dan kepemilikan (ownership) tampaknya merupakan akar dari banyak konflik manusia; darimana gagasan ini berasal, dan mengapa kita terikat kepadanya?

Selama berabad-abad kota merupakan pusat perdagangan yang penting, tetapi ketika teknologi baru sudah bukan lagi masalah dan kota telah dikuasai politik, maka ini jadi berbeda. Tetapi tempat itu tetap penting. Teman saya baru-baru ini bilang bahwa ada dua hal sekarang ini yang tak akan bisa di-deteritorialisasi-kan atau divirtualkan, yaitu Yerusalem—tak ada yang mau Yerusalem virtual, mereka ingin tanah sungguhan—dan minyak. Negara kapitalistis hidup dengan minyak, dan meskipun ini bisa berubah, seluruh masyarakat akan hancur jika itu terjadi. Ini lebih merupakan masalah di Amerika ketimbang Eropa, tetapi kita berbagi keprihatinan yang sama. Segala sesuatu selalu lebih di Amerika, dengan alasan-alasan yang nyata.

Apakah masa lalu merupakan sumber penderitaan dan kesenangan bagi manusia?

Ini berbeda dari satu orang ke yang lain, tetapi saya beruntung bahwa saya punya hubungan yang menyenangkan dengan masa lalu—saya bahkan menyimpan kenangan indah akan bagian sulit dari hidup saya, yang saya tahu sangatlah buruk. Saya ingin mengulang hidup saya, dan akan menerima semuanya berulang tanpa akhir, persis sama seperti ketika itu dulu terjadi. Sebuah pengulangan abadi.

Apa yang penting untuk Anda sekarang?

Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan macam itu? Banyak hal pribadi, publik dan politis penting buat saya, tetapi saya memikirkan semua hal itu dengan sebuah keasadaran terus-menerus bahwa saya bertambah tua, saya akan mati, dan hidup itu pendek. Saya terus-menerus memperhatikan waktu yang tersisa untuk saya, dan walau saya telah berpikir begini sejak muda, ini menjadi hal yang lebih serius ketika Anda berumur 72 tahun. Sejauh ini saya belum berdamai dengan kematian yang terelakkan, dan saya ragu apakah saya akan berdamai, dan kesadaran ini menyebar kepada segala hal yang saya pikirkan. Apa yang terjadi di dunia sekarang ini sungguh-sunguh buruk, dan semua ini ada dalam pikiran saya, tetapi mereka eksis berdampingan dengan teror akan kematian saya sendiri.

Kapan Anda menjadi seorang dewasa?

Ini pertanyaan menjebak. Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya lebih dari satu usia, dan saya menyandang tiga usia di dalam diri saya. Ketika saya berumur 20 tahun saya merasa tua dan bijaksana, tapi sekarang saya merasa seperti anak-anak. Ada sebuah unsur kesedihan tentang hal ini, karena meski dalam hati saya merasa muda, saya tahu secara objektif bahwa saya tidak muda. Usia kedua yang saya sandang adalah usia saya yang nyata, 72 tahun, dan setiap hari saya dihadapkan pada tanda-tanda yang mengingatkan saya akan hal itu. Usia ketiga yang saya sandang—dan ini adalah sesuatu yang hanya saya rasakan di Prancis—adalah usia ketika saya mulai menerbitkan tulisan saya, yaitu 35 tahun. Seolah saya berhenti pada usia 35 tahun di dunia kultural di mana saya bekerja. Tentu saja itu tidak benar, karena di banyak tempat saya dianggap tua, profesor terkenal yang menerbitkan banyak tulisan. Meski begitu, saya merasa seolah saya seorang penulis muda yang baru mulai menerbitkan tulisan, dan orang-orang bilang, “Dia menjanjikan”.

JACQUES DERRIDA meninggal di Paris, 8 Oktober 2004. Wawancara KRISTINE MCKENNA ini dimuat LA Weekly, 9 April 2003. Diterjemahkan oleh ANTARIKSA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar