Minggu, 19 Juli 2015

Kisah BABEL, dari Al-Kitab Hingga Sufisme





“Hatiku gejolak samudra tanpa tepian, bersamanya awal dan akhir tenggelam” (Ayn Al-Qudat dari Hamadan, Persia)

Kala itu, orang-orang Babilonia mendirikan sebuah menara –alias tower dalam bahasa sekarang, atas perintah Namrud, yang kalau bisa menara tersebut sanggup mendekati langit. Akan tetapi Tuhan (meski ada yang mempercayai kehancuran menara ini hanya mitos), menghancurkan menara tersebut, setidak-tidaknya demikian lah versi Al-Kitab –yaitu Kitab Kejadian alias Genesis. Tetapi Jacques Derrida punya tafsir sendiri terkait hal ini.

Dalam buku Des Tours de Babel, Derrida pun bertanya: Apa sebenarnya yang dimaksud “Babel” –secara linguistik? Kepada siapa “Babel” ini merujuk –atau siapa yang dirujuk dan menjadi referensi? Nah, saat itulah Derrida teringat Voltaire yang pernah mengkaji makna Babel, di mana kata “Babel” terdiri dari dua kata: Ba artinya ayah dalam bahasa China, sementara Bel artinya Tuhan.

Para leluhur Voltaire memberi nama Babel pada setiap ibu kota mereka. Di balik nama itu, tersimpan harapan agar kota-kota itu menjadi kota yang aman, makmur, sejahtera, dan bahagia –karena selalu dilindungi Tuhan. Namun, dalam konteks menara Babel, ternyata Tuhan menghancurkannya.

Dalam wawasan Jacques Derrida, contohnya, ketika Tuhan menghancurkan menara Babel, pada saat itulah Tuhan telah melakukan detotalisasi dan dekonstruksi, dan hasil dari detotalisasi itu tak lain adalah kebingungan, yang adalah juga kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi merupakan tindak kekerasan atas keberlainan.

Karena itulah kata Babel menurut Michel de Montaigne (sang esais masyhur yang nyeleneh itu) berarti kebingungan, hingga seorang Ayn al Qudat Hamadani pun menulis: “My heart was tumultuous a sea with no shore, in it was drowned all the ends and all the beginnings”. Dan juga seperti yang dinyatakan Ibn Araby: “O Lord, increase my perplexity concerning Thee”.

Haruslah diakui, ada paradoks dalam teologi bila dipahami secara verbal, seperti Tuhan adalah sang penunjuk (al haadi) sekaligus sang penyesat (al mudhillu), yang bila meminjam wawasannya Derrida merupakan differance dan disseminasi, yang tak lain adalah: “endlessly opens up a snag in writing that can no longer be mended” [Ian Almond 2002:515-537].

Dalam pandangan Derrida, peristiwa kehancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan perspektif tentang heterogenitas dunia dan hidup, di mana pada saat yang sama adalah kehancuran otoritas. Pada moment tersebut, “Tuhan” mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri. Persoalan tersebut sedikit-banyaknya memiliki kemiripan dengan penggalan ayat Kitab Si Pengkhotbah:

“Segala perkataan tak mencukupi, tak seorang jua pun sanggup mengatakannya. Dengan tiada sangguplah manusia menyelami permulaan dan penghabisan, demikian juga pengertian akan keabadian dalam hati mereka. Sebab samalah nasib manusia dan binatang, berakhir pada kematian.

Ayat-ayat tersebut menyuguhkan sugesti yang kuat tentang kerentanan manusiawi yang “mengharuskan” manusia berendah-hati di hadapan keagungan Ilahi yang acapkali tak sanggup dipahami. Iman-nya Si Pengkhotbah adalah iman yang sadar dengan kerentanan, subjek yang sadar dengan kedhaifannya:

“dan apa yang kurang tak dapat dibilang”.

Dalam konteks saat ini, beberapa pemegang lembaga keagamaan dan para pemegang otoritas sosial-keagamaan adalah orang-orang yang sepenuhnya sadar dengan fungsi sosial-politik dogma dan doktrin keagamaan atau bahkan klaim keimanan dan janji-janji surgawi secara praktis dan pragmatis, yang bila meminjam wawasannya Nietzsche, klaim “kebenaran” dipertahankan lebih karena fungsi relasional dan hasrat untuk berkuasa para aktor dan para pemegang otoritas dari klaim “kebenaran” itu sendiri.

Mereka yang acapkali mengatasnamakan lembaga keagamaan demi maksud, motif, dan tujuan politis dapat juga disebut sebagai imitasi-imitasi alias tiruan-tiruan Namrud dalam skala dan konteks yang berbeda. Di mana dalam sejarah pembangunan dan pendirian Menara Babel itu, Namrud-lah sang otoritas itu sendiri –yang berusaha ingin menciptakan dirinya sendiri dan lembaganya sebagai “sesembahan”. 

Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2001) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar