Minggu, 19 Juli 2015

Wikileaks, Julian Assange, dan Dana Bank Century untuk Kampanye SBY (Bag. 1)





Adalah Julian Assange yang beberapa tahun belakangan ini membuat para konspirator dunia merasa geram, terutama sekali Amerika. Dan di Jakarta awal Syawal tahun ini, karena sejumlah bocoran kawat Wikileaks besutan Assange itu, tersingkap ‘fakta percintaan gelap’ antara Front Pembela Islam (FPI) dan kalangan petinggi polisi dan intelijen, seperti yang dilaporkan diplomat Amerika di Jakarta ke bos-bos mereka di Washington.

Dari pemeriksaan yang lebih dalam atas sejumlah telegram bersubjek Indonesia yang telah terpajang di WikiLeaks dalam dua pekan terakhir, dan membandingkannya dengan isi pers Jakarta, Islam Times juga mendapati adanya semacam ‘permakluman’ yang besar – jika tidak self-censorship – di kalangan redaksi media yang berujung pada keputusan mereka untuk, sejauh ini, tak menuliskan detil-detil ‘sensitif’ dalam telegram di berita mereka, sebuah isyarat adanya kemungkinan pengkhianatan besar pada janji profesi mereka untuk meletakkan kepentingan publik di atas segalanya.

Berdasarkan pemeriksaan lebih jauh dengan membandingkan naskah utuh sejumlah telegram yang terpajang diWikiLeaks dengan isi liputan The Age, koran Australia yang lebih dulu mendapatkan akses ‘eksklusif’ pada arsip WikiLeaks dan mempublikasikan laporannya pada 11 Maret 2011 —namun The Age hingga kini tak pernah mempublikasikan naskah utuh telegram yang mereka klaim diterima secara khusus dari WikiLeaks, sedangkan Islam Times mendapati media Australia itu cenderung hanya memberitakan apa yang menurut mereka perlu publik ketahui dan bukan pada informasi utuh yang tertera dalam telegram. Ada kesan yang cukup beralasan bahwa media Australia itu dengan sengaja menyitir pemberitaan.

Sementara itu, terdapat ‘keanehan besar’ dalam pemberitaan media-media besar Jakarta yang dalam beberapa hari terakhir ini seolah terobsesi menyoroti ‘koneksi’ FPI-Polisi-Intelijen meski faktanya, dalam telegram yang sama, ada banyak subjek lain yang penting, menarik dan patut diketahui publik.

Dalam ulasan bersambung berikut, telegram pertama yang menjadi subjek pemeriksaan (investigasi) adalah kawat diplomatik berjudul “Indonesian Biographical and Political Gossip”. Kode Q4 2005/Q1 2006, di kepala dokumen mengisyaratkan gossip politik dalam kawat ini adalah yang muncul di jagad politik nasional dalam rentang kuartal IV 2005 hingga kuartal pertama 2006. Temanya beragam dengan jumlah total dua lusin lebih:

Soal ‘Peran Informal’ Keluarga Presiden SBY
Diplomat Amerika dalam subjek ini menyandarkan gosip yang mereka kirim ke Washington pada Roy Janis, bekas politisi PDI-Perjuangan. Kata telegram, dari Roy lah diplomat Amerika di Jakarta mendengar kalau keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya peran yang lebih besar dalam penentuan kebijakan negara. (Roy dalam bagian ini digambarkan tetap bisa menjalin hubungan ‘tak langsung’ dengan Presiden Susilo via ‘keluarga presiden’, bahkan setelah dia keluar dari PDI-P pada 2005).

Digambarkan sebagai ‘kelompok informal’, keluarga besar presiden disebutkan ‘rutin bertemu’ untuk mendiskusikan ‘urusan-urusan kebijakan’. Rapat, kata telegram, dihadiri oleh istri presiden, Kristiani Yudhoyono; Gatot Suwondo (ipar presiden yang sekaligus pejabat senior di Bank BNI); Brigadir Jenderal Pramono Edhi Wibowo (ipar lain presiden yang, kala telegram dikawatkan ke Washington, masih menjabat sebagai Komandan Kopassus). Roy, kata telegram, juga mengklaim kalau Hadi Utomo, juga ipar presiden, baru menjadi peserta tetap rapat keluarga itu setelah dia menjadi petinggi di Partai Demokrat, partai rintisan presiden.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak mencantumkan teks telegram bagian ini saat menurunkan laporannya bertajuk “Yudhoyono abused power”, 11 Maret 2011. Pihak Presiden Susilo juga telah melayangkan bantahan keras sejak The Age melansir berita yang di dalamnya menyebut-nyebut peran sentral Ibu Negara Kristiani Yudhoyono dalam pengambilan kebijakan pemerintahan).

Soal Hubungan Presiden dan Taufik Kiemas
Sumber gossip yang dalam tema ini dari T.B. Silalahi, penasihat presiden di tahun 2005. Kata telegram, Silalahi berbicara dengan diplomat Amerika di Jakarta pada Oktober 2005 dan membisikkan kalau Hendarman Supandji, seorang jaksa senior kala itu, yang kebetulan memimpin tim pemberantasan korupsi di Kejaksaan Pusat, telah mengantongi cukup bukti untuk mengeluarkan surat penangkapan atas apa yang digambarkan dalam telegram sebagai ‘korupsi’ Taufik Kiemas. Tapi, kata Silalahi, Presiden Susilo sendiri yang mengistruksikan ke Hendarman untuk menghentikan penyidikan atas diri Taufik.

(Catatan Islam Times: dalam telegram yang lain, T.B Silalahi digambarkan oleh diplomat Amerika di Jakarta sebagai “sepupu” Sudi Silalahi). (Catatan Islam Times: The Age memuat utuh isi telegram bagian ini).

Soal Dana Kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Silo Marbun, orang dekat Vence Rumengkang, politisi yang pernah menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Telegram bilang kalau usai Pemilu 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menawarkan jabatan ke Vence, plus cek Rp 5 miliar. Yang terakhir digambarkan sebagai imbalan atas kontribusi besar Vence pada Partai. (“Marbun menggambarkan Vence sebagai donatur utama Demokrat di tahun-tahun awal partai). Vence kabarnya menolak dua tawaran Presiden Susilo itu dan bilang dia hanya berharap berlanjutnya sokongan Presiden. Marbun juga bergosip dan bilang kalau Aburizal Bakrie menyumbang Rp 200 miliar untuk kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2004. (Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyebut bagian ini). (Bersambung ke Bag. 2




Tidak ada komentar:

Posting Komentar