Jumat, 29 Januari 2016

Ezra: Membaca Lagi Perjanjian Lama (Apakah Ibrahim Orang Arab Atau Yahudi?)



ABSTRAK 
Kajian dan telisik ini adalah upaya yang sabar untuk meneliti, 'Apakah yang dikurbankan Ibrahim as itu adalah Ismail ataukah Ishak?'. Pembahasan dan kajian ini memang disengajakan memulai dirinya dengan membaca ulang Perjanjian Lama itu sendiri sebelum mengkomparasikannya dengan teks-teks Al-Qur'an.

Banyak para ahli, peneliti, sejarahwan, arkeolog, dan para filolog yang menyatakan bahwa Bangsa Arab lebih tua ketimbang Bangsa Israel. Mereka menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan orang-orang Israel Kuno adalah bahasa-bahasa dari rumpun suku-suku Arab kuno.

PEMBAHASAN
Adalah William G. Dever, seorang Profesor bidang Arkeologi Timur Dekat dan antropologi di Universitas Arizona, yang menyatakan bahwa sumber-sumber Biblikal diedit pada era Persia belakangan (abad ke­5-ke-4 S.M.) dan Helenistik (abad ke-3-ke-2 S.M.). Dan masih ada banyak para ilmuwan lain seperti Tom Thompson dari Copenhagen (Denmark), dan koleganya Niels Peter Lemche, Philip Davies dari Sheffield, "dan sejumlah pakar (para ahli dan para peneliti) yang lain, baik yang berkebangsaan Amerika maupun Eropa, yang meyakini bahwa Bible yang berbahasa Ibrani tidak hanya diedit pada periode Persia/Helenistik tapi memang ditulis pada masa itu."
 
Hal senada juga disampaikan oleh Profesor Frederick Cryer dari Copenhagen, Denmark, di mana ia menyimpulkan bahwa Bible yang berbahasa Ibrani "tidak dapat dibukti­kan memiliki kandungan-kandungan yang sekarang ini sebelum periode Helenistik." Sebuah bangsa yang kita sebut Israel tidak menggunakan istilah itu buat diri mereka, dan sebelum abad keempat Sebelum Masehi, ri­wayat-riwayat (narasi-narasi) Saul dan David, misalnya, ditulis di bawah "kemungkinan pengaruh" dari literatur Helenistik tentang Iskandar. Bahwa teks­-teks Biblikal ini disusun begitu terlambat "yang secara niscaya memaksa kita untuk merendahkan estimasi kita terhadapnya sebagai sumber sejarah."
 
Sementara itu seorang sarjana dan peneliti yang lain, yaitu Niels Lemche, bahkan berpendapat lebih jauh lagi, atau katakanlah lebih ekstrim ketimbang para sarjana yang lain, di mana ia menemukan pen­ciptaan Israel kuno pada "historiografi Jerman abad ke-19 yang memandang semua peradaban dari segi konsep negara-kebangsaan (the nation-state)-nya masing-masing." Dengan demikian, menurutnya, konsep politis dan sosial sebuah Israel kuno adalah merupakan suatu ideal yang aneh dan tidak karuan, yang dilahirkan sebagai akibat dari keasyikan Eropa sendiri dengan ‘konsep’ dan ‘imajinasi’ Negara-­kebangsaan (the nation-state) pada tahun 1800-an alias di abad ke-19.
 
BAHASA ASLI PERJANJIAN LAMA TIDAK DISEBUT SEBAGAI IBRANI
Selanjutnya yang juga penting diketahui dan diinformasikan adalah bahasa masa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M., berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-­gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah ber­utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaani ini.

Perlu juga ditambahkan, banyak sejarawan yang menyatakan bahwa jazirah Funisia kuno itu sesungguhnya yang saat ini masuk kawasan Libanon. Dalam budaya umum, bangsa Kanaan (Funisia) tidaklah kalah hebat, dan tidak se­dikit dari budaya Kanaan itu telah diambil alih oleh orang-orang Ibrani.

Orang-orang Ibrani bukanlah pembangun yang besar, juga bukan juga bangsa yang cerdas dalam seni dan keahlian. Akibatnya mereka dalam bidang ini, begitu juga hal-hal yang lain, harus bergantung berat pada orang-orang Kanaan (Funisia). Singkat kata, bahasa apa pun yang digunakan orang-orang Ibrani sebelum menetap di Palestina, adalah dialek bahasa Kanaan yang kemudian menjadi bahasa mereka setelah menetap. 

Dalam hal ini perlu juga dipertimbangkan ketika banyak ilmuwan, para peneliti, sejarahwan, dan para filolog berpendapat bahwa bahasa Ibrani dan Aramaik merupakan dua dialek bahasa Kanaan (Funisia). Dan pada kenyataannya, tulisan-tulisan Yahudi pra-pengasingan (pre exile) adalah berbahasa Kanaan, bukan Ibrani, meski saat ini secara keliru dianggap sebagai bahasa Ibrani lama atau paleo-Ibrani.

Di sini, penting untuk ditegaskan bahwa Abraham (Nabi Ibrahim) dan anak ­cucunya (keturunannya) merupakan suatu marga yang terlalu kecil di Kanaan untuk dapat menciptakan bahasa mereka sendiri, dan dengan terpaksa mereka harus menggunakan bahasa Kanaan yang predominan, sangat tidak mungkin bahwa orang-orang Israel, dalam jumlah yang demikian kecil dan terpaksa me­nanggung penderitaan dan perbudakan di Mesir, adalah dalam posisi yang kondusif untuk menciptakan sebuah bahasa baru. Sejauh yang mungkin di­lakukan hanyalah mengadopsi sebuah dialek bahasa Kanaan tertentu pada tahap (fase) tertentu, tetapi tentu saja tidak ada yang berbeda dan unik. Dan kenyata­annya Perjanjian Lama itu sendiri tidak pernah merujuk pada bahasa Yahudi sebagai bahasa Ibrani, sebagaimana yang diilustrasikan oleh dua ayat dari Yesaya 36: 

[11] Lalu kata Elyakim, Sebna dan Yoah kepada Rab-Syakih, "Tuan, bicara saja dalam bahasa Siria dengan budak-budakmu; karena kami memahaminya: Jangan memakai bahasa Yahudi (Jew's language), nanti dimengerti rakyat di atas tembok kota itu." 

[13] Kemudian Rab-Syakih berdiri dan berteriak dalam bahasa Yahudi, dan berkata, "Dengarlah apa yang dikatakan raja besar, raja Asyur."

Demikianlah terjemahan dalam versi King James (King James Version), dan frasa yang sama juga ditemukan dalam versi New World Translation, versi Holy Bible from the Ancient Eastern Text, Revised Standard Version, serta edisi bahasa Arab. Ketiga versi yang terakhir ini mengganti `bahasa Aram' dengan `bahasa Suriah', tapi tak satu pun menganggap yang lain sebagai bahasa Ibrani.

2 Raja-raja 18:26 dan 2 Tawarikh 32:18 mencatat rentetan kejadian yang sama dan menggabungkan ekspresi yang sama. Dalam bab yang lain dari Yesaya kita membaca: Pada waktu itu bahasa Kanaan akan dipakai dalam lima kota Mesir, dan mereka akan mengangkat sumpah demi Tuhan para penjamu mereka; salah satu kota itu akan dinamakan "Kota Kehancuran".
 
Terjemahan-terjemahan yang telah dikutip di atas secara sepakat menyetujui kesimpulan berikut ini:

Jika bahasa Ibrani telah ditemukan pada waktu itu, tentu saja Perjanjian Lama akan memberikan kesaksian tentang hal itu, dan bukannya malah membuat istilah atau susunan kata-kata (wordings) yang kabur tentang `bahasa orang-orang Yahudi' (Jews' language) atau bahasa Kanaan (language of Canaan).

Dengan kenyataan bahwa teks secara generik merujuk pada bahasa Kanaan yang secara sederhana bisa dikatakan berbahasa Kanaan, kita dapat menyimpulkan bahwa bangsa Israel tidak mempunyai sebuah bahasa yang khusus pada waktu ter­pecahnya Kerajaan menjadi Israel dan Yehuda.

Sesungguhnya kata-kata `bahasa Ibrani' memang benar-benar ada, tapi ia mendahului bangsa Israel, dan tidak merujuk pada sesuatu yang berhubungan secara jauh dengan Yahudi. Kata-kata `ibri (Habiru) dan`ibrani (Hebrew) telah lama dipakai bahkan sebelum 2000 Sebelum Masehi, dan merujuk pada sebuah grup dari suku-suku Arab di daerah-daerah bagian utara Jazirah Arabia, di padang pasir Suriah. Sebutan itu menyebar ke suku-suku Arab yang lain di daerah itu hingga menjadi sinonim dengan `son of the desert' (anak padang pasir).

Teks-teks Cuneiform dan Fir'aunis semenjak sebelum bangsa Israel pun menggunakan kata-kata seperti `Ibri, Habiri, Habiru, Khabiru, dan `Abiru. Dalam hal ini istilah `Ibrani, seperti dianggap berasal dari Abraham dalam Bibel, berarti seorang anggota dari `Abiru (atau suku-suku Arab nomad), yang dia sendiri merupakan salah satu anggotanya. Frase `Ibrit, yang menunjukkan orang-orang Yahudi, diciptakan belakangan oleh para rabi di Palestina. (Bersambung)


Foto-foto: Ummat Kristiani Orthodoks Suriah oleh Getty Images



Tidak ada komentar:

Posting Komentar